Kerusuhan Mei 1998: Luka Sejarah dan Ketegangan Rasial yang Disederhanakan
Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu tragedi kekerasan HAM terbesar dalam sejarah Indonesia. Dalam tiga hari, dari 13 hingga 15 Mei 1998, Indonesia menyaksikan kekacauan massal di berbagai kota besar seperti Jakarta, Solo, Medan, dan Palembang. Ribuan toko dan rumah dibakar, ratusan orang tewas, dan yang paling memilukan ratusan perempuan, terutama dari etnis Tionghoa, menjadi korban kekerasan seksual.
Namun, sering kali, peristiwa ini disederhanakan sebagai konflik antara “pribumi vs Tionghoa”. Tanpa sadar, ini adalah upaya pengaburan peristiwa yang menyesatkan dan mengabaikan sejarah panjang diskriminasi struktural, politik ekonomi yang timpang, serta peran negara dalam membentuk relasi etnis yang timpang. Untuk memahami akar kerusuhan ini, kita perlu melihat lebih jauh ke dalam sejarah kolonial, praktik diskriminasi negara, serta kondisi ekonomi-politik menjelang kejatuhan Orde Baru.
Warisan Kolonial dan Politik Rasial
Relasi antara etnis Tionghoa dan masyarakat “pribumi” di Indonesia sudah lama dibentuk dalam kerangka kolonial yang bersifat diskriminatif dan eksploitatif. Pemerintah kolonial Belanda secara sistematis mengklasifikasikan penduduk Hindia Belanda berdasarkan ras: Eropa di posisi tertinggi, disusul Timur Asing (Tionghoa, Arab, India), dan pribumi di lapisan terbawah. Sistem ini, menurut Suryadinata dalam Pribumi Indonesians, the Chinese Minority, and China (1992), memberikan etnis Tionghoa ruang dalam sektor perdagangan, dan dijadikan perantara antara Belanda dan pribumi. Hal ini yang menjadikan adanya kecemburuan sosial masyarakat pribumi dengan etnis Tionghoa karena adanya kebijakan yang mendiskriminasi pribumi.
Meskipun posisi ini memberikan keuntungan ekonomi bagi sebagian kecil etnis Tionghoa, tetapi mereka juga dijadikan kambing hitam ketika terjadi ketegangan sosial. Dalam banyak pemberontakan rakyat sepanjang abad ke-18 dan 19, etnis Tionghoa kerap menjadi korban kekerasan, seperti dalam pembantaian tahun 1740 di Batavia.
Jacques Bertrand dalam bukunya Ethnic Conflicts in Indonesia (2004) menjelaskan bahwa konflik etnis di Indonesia, termasuk kekerasan terhadap Tionghoa, tak dapat dilepaskan dari model nasionalisme yang dibentuk negara sejak kemerdekaan. Bertrand berargumen bahwa negara Indonesia pascakolonial membentuk narasi keindonesiaan yang sangat eksklusif, dengan menyatukan keragaman etnis di bawah satu identitas nasional “pribumi” yang secara tak langsung mengeksklusikan etnis Tionghoa sebagai “orang luar”.
Baca juga: RUU Polri: Supremasi Polisi yang Menghancurkan Tubuh Perempuan
Politik Diskriminasi dalam Negara Modern
Setelah kemerdekaan, ketegangan rasial ini tidak benar-benar dihapuskan. Pada masa Orde Lama, pemerintah menerapkan kebijakan asimilasi dengan tujuan mengintegrasikan etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia. Namun, Suryadinata (1999) menuturkan pendekatan yang digunakan bersifat koersif. Sekolah-sekolah berbahasa Mandarin ditutup, media berbahasa Mandarin dilarang, dan kewarganegaraan etnis Tionghoa dipertanyakan.
Situasi menjadi semakin buruk pada masa Orde Baru. Pemerintah Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi yang ekstrem, seperti Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang semua ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik. Nama-nama Tionghoa diubah menjadi nama Indonesia, perayaan Imlek dilarang, dan warga Tionghoa ditekan untuk melepaskan identitas budayanya.
Sementara itu, dalam sektor ekonomi, beberapa pengusaha Tionghoa justru dilibatkan dalam kerja sama bisnis dengan elit militer dan birokrat Orde Baru. Muncul istilah “9 Naga” yang merujuk pada kelompok konglomerat Tionghoa yang menguasai sektor-sektor strategis ekonomi dan memiliki hubungan dekat dengan keluarga Cendana. Keberadaan mereka memperkuat stereotip bahwa etnis Tionghoa menguasai ekonomi dan mendapat keistimewaan, padahal mayoritas warga Tionghoa tak menikmati kekayaan yang sama.
Krisis Ekonomi dan Akumulasi Kecemburuan Sosial
Menjelang 1998, Indonesia mengalami krisis moneter hebat sebagai bagian dari krisis ekonomi Asia. Nilai rupiah anjlok, inflasi naik drastis, harga-harga kebutuhan pokok melambung, dan pengangguran meningkat. Kondisi ini memperburuk ketidakpuasan publik terhadap pemerintah Soeharto yang otoriter dan korup.
Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak mati oleh aparat, menjadi pemicu ledakan emosi rakyat. Demonstrasi besar-besaran pecah di Jakarta dan kota-kota lain. Namun, dalam kondisi chaos, kemarahan rakyat dengan cepat dialihkan ke kelompok minoritas yang mudah dikambinghitamkan, yaitu etnis Tionghoa.
Dalam waktu singkat, ratusan toko milik Tionghoa dijarah dan dibakar. Korban tewas mencapai ratusan, sebagian besar karena terjebak dalam kebakaran. Yang paling tragis adalah terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa. Komnas Perempuan mencatat bahwa para korban bukan hanya diperkosa, tetapi juga mengalami penyiksaan fisik dan trauma psikologis yang mendalam.
Baca juga: Menolak Lupa Kekerasan dan Femisida di Bulan Mei 1998
Mengapa Etnis Tionghoa yang Diserang?
Sosiolog, Ariel Heryanto dalam buku Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, ia mencatat bahwa etnis Tionghoa telah lama ditempatkan dalam posisi ambivalen. Mereka dianggap kaya namun tidak sepenuhnya “Indonesia”, sehingga jadi simbol “yang lain”, yang mudah dijadikan sasaran kebencian ketika negara mengalami krisis.
Dengan perspektif interseksionalitas Patricia Hill Collins dalam Intersectionality (2016), kita juga dapat melihat bahwa negara Orde Baru menciptakan “matrix of domination” terhadap etnis Tionghoa, yang diimplementasikan lewat pelapisan identitas rasial, kelas, dan gender. Etnis Tionghoa di konstruksi sebagai “lain” secara etnis. Namun, dalam ranah ekonomi, negara menjalin hubungan patronase dengan kelompok pengusaha Tionghoa, menjadikan mereka sebagai agen pembangunan.
Posisi ini menempatkan etnis Tionghoa dalam ambiguitas karena di satu sisi mereka menjadi sasaran kontrol dan eksklusi simbolik, tetapi di sisi lain diintegrasikan secara fungsional dalam sistem ekonomi negara. Padahal mereka sesungguhnya adalah korban dari kekerasan berlapis yang dilakukan negara. Oleh karenanya, pengalaman mereka tak bisa dipahami hanya melalui satu dimensi identitas, melainkan melalui interseksionalitas antara ras, kelas, dan kewarganegaraan yang membentuk cara mereka diatur dan mengalami kekuasaan negara.
Luka yang Tak Kunjung Disembuhkan
Lebih dari dua dekade telah berlalu sejak tragedi Mei 1998, namun luka itu belum sepenuhnya disembuhkan. Negara belum melakukan investigasi yang menyeluruh dan transparan. Para pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa belum diadili. Sementara itu, banyak korban masih hidup dalam trauma dan ketakutan.
Meskipun saat ini ekspresi budaya Tionghoa kembali diakui secara legal dan politik afirmasi terhadap minoritas semakin berkembang, masih ada sisa-sisa diskriminasi dan stereotip di masyarakat. Ketegangan antara “pribumi vs Tionghoa” terus direproduksi melalui narasi sejarah yang tak kritis dan media sosial yang memanipulasi identitas untuk kepentingan politik.
Kerusuhan Mei 1998 bukan hanya akibat dari sentimen rasial semata, tetapi merupakan hasil dari akumulasi ketimpangan sosial, diskriminasi struktural, dan politik identitas yang dilembagakan oleh negara selama puluhan tahun. Membingkai peristiwa ini sebagai konflik etnis justru menyederhanakan realitas yang kompleks dan menutup peluang untuk melakukan rekonsiliasi yang bermakna.
Namun, negara bukannya memberikan sejarah yang jujur dan kritis melainkan selalu dikaburkan agar membungkam kejahatannya. Seharusnya, negara mengakui kesalahan masa lalu, dan memberikan mekanisme keadilan transisional yang memberikan ruang bagi korban untuk didengar. Tanpa itu, luka sejarah ini akan terus membayangi kehidupan sosial kita dan menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa kembali menyala.
Tags:

Social Media Kami