Mengenal Kiprah Supeni Pudjobuntoro, Duta Besar Keliling Indonesia yang Idealis
Sejarah Indonesia yang masih terjebak dalam narasi maskulin sering kali menempatkan perempuan sebagai peran figuran, bahkan subordinat. Pada tahun 2020 perbandingan jumlah pahlawan nasional perempuan (15 orang) dan laki-laki (191 orang) yang dicatat Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial Kementerian Sosial (2023) membuktikan perempuan diposisikan menjadi aktor kedua setelah laki-laki dalam sejarah.
Terbatasnya penulisan dan pencatatan pahlawan perempuan menjadi sinyal kuat bahwa sejarah resmi Indonesia masih meminggirkan sosok perempuan. Bahkan, ketika dirinya berjasa sedemikian rupa demi memperjuangkan negara dan hak-hak perempuan, seperti Cut Nyak Dien, R.A. Kartini, Dewi Sartika, Cut Meutia, dan lainnya.
Namun, yang kerap luput adalah perjuangan perempuan di bidang politik dan diplomasi. Banyak dari mereka dikirimkan sebagai perwakilan Indonesia dalam misi-misi perjuangan yang melibatkan negara lain. Salah satu perempuan tersebut bernama Supeni Pudjobuntoro.
Dikenal sebagai Sosok Idealis Sejak Masa Belia
Lahir di Tuban pada 17 Agustus 1917, perempuan yang kerap disapa Nyonya Supeni ini memiliki sifat idealis yang begitu kuat dalam dunia politik. Bagaimana tidak? Di usianya yang masih belia–14 tahun, ia pernah dikeluarkan dari sekolah karena telah aktif berpolitik. Ia bahkan mendapatkan kecaman dari Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau badan intelijen politik pemerintah kolonial Belanda.
Saat Jepang menduduki Indonesia, Supeni tergabung dalam organisasi militer Fujinkai dengan ajaran dasar-dasar kemiliteran, kemudian dilanjutkan dengan organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) pada tahun 1945 untuk membantu korban perang revolusi. Setelah masa kemerdekaan, Supeni terlibat aktif untuk memperjuangkan eksistensi perempuan di ruang publik jauh sebelum adanya Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Ia berhasil menjadi ketua Kowani yang saat itu diadakan di Yogyakarta.
Untuk mengasah kemampuannya di bidang politik, Supeni bergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI). Perlahan, ia menjadi sosok yang teguh akan pendiriannya dan memiliki prinsip. Berbekal idealismenya, ia bahkan berani menentang Presiden Soekarno apabila pendapatnya tidak sejalan.
Sikap tegas ini mendorongnya menjadi pribadi yang cekatan sehingga diberikan kepercayaan penuh untuk mengemban jabatan dan tugas-tugas penting kenegaraan. Hingga akhirnya, Supeni diangkat menjadi Duta Besar Keliling Indonesia pada 18 September 1960 guna melakukan kunjungan ke negara-negara yang menjalin kerja sama politik dengan Indonesia, seperti Mesir, India, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Wajah Perempuan dalam Politik dan Diplomasi Indonesia Pasca Kemerdekaan
Sebagai anggota dewan partai dengan karier cemerlang, Supeni juga diberikan tanggung jawab dalam pemilihan umum perdana tahun 1995. Merujuk Paul Tista dalam Supeni Wanita Utusan Negara (1989), Supeni mulai mempersiapkan pemilu dengan mempelajari sistem pemilu yang ada di negara lain, seperti India dan Amerika Serikat.
Perempuan ini kemudian menyerap apa yang dipelajari dan menyampaikannya kepada para anggota PNI yang berujung pada kemenangan partainya sebagai leading party. Di tahun yang sama, Supeni juga terlibat aktif dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, sebagai delegasi dan perwakilan jurnalis Indonesia di Konferensi Wartawan Asia-Afrika.
Satu tahun setelahnya, Supeni juga memiliki andil besar bagi Nasionalisasi Terusan Suez di Mesir, yang diterima baik oleh Mesir dan negara-negara di Timur Tengah. Ia memberikan usul resolusi kepada Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir, untuk mengembalikan terusan Suez ke tangan Mesir dengan dana yang dialokasikan untuk menunjang pembangunan bendungan Aswan sebagai sarana pertanian.
Dalam setiap upaya diplomasi, Supeni menunjukkan kepekaan dan perhatian terhadap detail, serta mempertimbangkan konteks sosial-politik secara utuh yang tak dimiliki kebanyakan politisi. la tidak hanya berpikir strategis, tetapi juga memperhitungkan dampak jangka panjang demi stabilitas kawasan tersebut.
Baca juga: Menembus Sekat Gender dan Ras Melalui Lensa Feminisme Inklusif ala bell hooks
Pengiriman Supeni sebagai salah satu utusan perempuan membuat Indonesia dikenal di mata dunia, saat negara lain masih terbatas menampilkan wajah perempuan dalam citra politiknya. Supeni menjadi satu-satunya perwakilan perempuan yang memimpin delegasi di London pada 1957 yang membuat Ratu Elizabeth II kagum.
Sebagai ketua Inter-Parliamentary Union (IPU), Supeni mendeklarasikan masalah Irian Barat untuk mencari dukungan ke dunia internasional. Berdirinya ia di podium mendapatkan kritik secara langsung oleh salah satu pihak sehingga memunculkan perdebatan yang berakhir dengan pemaparan masalah yang sebenarnya terkait Irian Barat yang masih dikuasai Belanda. Hal tersebut mendapatkan berbagai respons, bahkan beberapa dari negara yang hadir pun turut memberikan dukungan terhadap Indonesia di dalam PBB.
Perjalannya terus berlanjut melalui kunjungan ke negara-negara anggota Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok dengan tujuan memperkuat gerakan anti neo-kolonialisme dan imperialisme, seperti Sri Lanka dan Burma (Myanmar), ia juga berupaya melakukan pendekatan kepada Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India yang sebelumnya tidak menyetujui adanya Aljazair dalam KTT Non-Blok. Dengan kelihaiannya, Supeni berhasil meyakinkan Nehru untuk menyetujuinya. Konferensi ini menjadi cikal bakal terbentuknya Gerakan Non-Blok (GNB) sebagai organisasi perdamaian dunia.
Sang “Irian Lady”: Kontribusi Pembebasan Irian Barat dari Belanda
Bersama dengan para pejuang lain dalam Biro Irian, Supeni dan kawan-kawan berhasil menempatkan Irian Barat ke dalam bagian NKRI secara de facto. Setelah sebelumnya, Irian Barat menjadi daerah yang tetap dipertahankan Belanda setelah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus–2 November 1949. Artinya, walau Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, namun enggan melepaskan Irian Barat.
Ketegangan ini pun berlangsung bertahun-tahun lamanya. Badan perdamaian sekelas PBB tak mampu berbuat banyak, yang justru membuat keadaan semakin carut-marut. Namun, melalui KAA, Supeni berupaya melobi negara-negara anggota yang bernasib serupa. Gagasan Supeni “The Asian-African Conference Support the Position of Indonesia on West Irian” diterima baik dan berbuah manis dengan dukungan terhadap Indonesia.
Perempuan hebat ini juga melobi berbagai forum, seperti Konferensi Uni antar Parlemen di London dan Brazil serta Asia-Pacific Relations Conference di Lahore. Saat Operasi Trikora diluncurkan Soekarno, Supeni dikirim ke Filipina untuk menemui Wakil Presiden Emmanuel Pelaez guna mencegah potensi intervensi Amerika Serikat. Berkat diplomasi cerdasnya, Pelaez menyatakan dukungan kepada Indonesia. Upaya ini turut berkontribusi pada kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963.
Baca juga: Hari Ini dan Esok Mengenang Kartini di Luar Balutan Politik Kebaya ala Orde Baru
Menghadirkan Narasi Perempuan melalui Supeni
Namun, Supeni bukanlah satu-satunya perempuan yang bergerak dalam bidang politik di masa itu. Terdapat pula andil dari perempuan lainnya, seperti Maria Ulfah, Laili Roesad, ataupun Fransisca Fanggidaej. Meski begitu, melalui Supenilah saya dapat menambah wawasan mengenai tokoh perempuan yang berkiprah di ruang publik, mengingat perempuan yang selalu dikaitkan dengan dapur, sumur, kasur.
Sosok Supeni juga mengantarkan saya membaca ulang perjuangan para perempuan yang tidak tercatat dalam sejarah resmi. Pengenalan sosok ini menjadi sarana penulisan narasi sejarah yang lebih inklusif. Sosok Supeni menantang dikotomi antara ruang domestik dan ruang publik yang selama ini membatasi perempuan. Karena, ia menjalani kehidupan sebagai anak, istri, dan ibu, sekaligus menjalankan amanah negara sebagai Duta Besar Keliling.
Berbalut kebaya dan konde, Supeni berlenggang sebagai perempuan yang anggun namun tetap tegas terhadap pendiriannya. Supeni benar-benar membuktikan bahwa perempuan dapat menjadi siapa pun dan apa pun sesuai dengan cita-citanya. Relasi yang ia bangun dengan Soekarno menggambarkan harmonisasi dua tokoh yang saling menghormati pandangan satu sama lain. Karena keduanya saling bertukar pikiran sebagai mitra sejajar yang dihargai pemikirannya.
Narasi perempuan lewat Supeni ini berusaha dihadirkan untuk menuliskan sejarah perempuan sebagaimana mestinya; sebagai subjek aktif dalam perjalanan bangsa. Melalui berbagai peran dan kiprahnya, Supeni memberi pesan kuat bahwa perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang setara untuk berkontribusi, baik di ranah domestik maupun publik. Keduanya memiliki hak dan tanggung jawab yang sama untuk memilih dan dipilih, serta bersuara dan didengar.

Social Media Kami