Kerja Seks Bukan Pilihan Bebas: Realitas yang Tersembunyi di Balik Wisata Labuan Bajo
Seperti yang kita tahu, Labuan Bajo dikenal sebagai salah satu surga wisata Indonesia. Hamparan laut biru, gugusan pulau eksotik, dan kapal-kapal pinisi membawa wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Sebagai gerbang utama menuju Taman Nasional Komodo, kawasan ini berkembang menjadi destinasi impian, lengkap dengan hotel mewah, restoran kelas atas, dan infrastruktur yang kian diperluas.
Namun, di balik wajah pariwisata yang glamor, terdapat realitas sosial yang nyaris tak terdengar; maraknya praktik kerja seks yang dilakukan oleh perempuan lokal, bahkan remaja. Mei lalu, pemberitaan viral mengenai praktik prostitusi yang melibatkan anak-anak perempuan mulai dari SD hingga SMA membuat publik resah. Banyak yang merespons dengan kemarahan, keprihatinan, bahkan penghakiman moral.
Sebagaimana patriarki dan kapitalisme merusak struktur sosial, ekonomi, dan kultural, praktik kerja seks ini justru membuat kehidupan anak-anak dan remaja perempuan semakin termarjinalkan. Berangkat dari sana, kemudian muncul relasi yang kompleks antara agensi perempuan dan keterpaksaan melakukan suatu pekerjaan berisiko akibat struktur yang timpang.
Sistem Kapitalisme yang Menindas Tubuh Perempuan
Laju ekonomi pariwisata di Labuan Bajo tumbuh pesat, namun masyarakat setempat hanya bisa gigit jari dan menjadi penonton kemewahan tersebut. Banyak posisi penting di sektor wisata diisi oleh para pendatang, mulai dari manajer hotel, pemilik usaha, hingga pemandu wisata. Sementara warga lokal, terutama perempuan, tertinggal jauh dari akses pelatihan, keterampilan, dan peluang kerja layak.
Friedrich Engels, dalam The Origin of the Family, Private Property and the State (1884), menulis bahwa penindasan terhadap perempuan bukanlah hasil dari kodrat biologis, melainkan konsekuensi historis dari perubahan dalam sistem produksi masyarakat. Ketika alat-alat produksi dikuasai oleh kelas pemilik modal, perempuan kehilangan posisi otonomnya dalam struktur sosial. Mereka tersubordinasi ke dalam ruang domestik dan kerja reproduktif yang tidak diakui sebagai produktif oleh sistem kapitalis.
Baca juga: Polemik Lisa dan Ridwan Kamil: Saat Skandal Politik Memperalat Tubuh Perempuan
Dalam tatanan ini, akses perempuan terhadap kerja formal, pendidikan, dan pengambilan keputusan menjadi sangat terbatas. Tingginya angka putus sekolah, beban tanggung jawab rumah tangga sejak dini, dan terbatasnya mobilitas sosial membuat banyak perempuan sekitar Labuan Bajo tidak memiliki banyak pilihan. Dalam situasi semacam ini, tubuh mereka perlahan direduksi menjadi satu-satunya “aset” yang bisa dijual dalam ekonomi wisata yang rakus dan eksploitatif.
Akhirnya, tubuh perempuan tidak lagi dipandang sebagai ruang otonomi personal, melainkan sebagai barang dagangan yang dapat dipertukarkan dalam relasi kuasa pasar. Salah satu bentuk paling nyata dari komodifikasi ini adalah kerja seks, ketika tubuh perempuan dimasukkan ke dalam logika produksi dan konsumsi. Mereka menjelma sebagai penyedia layanan, sekaligus objek ekonomi itu sendiri.
Tubuh Perempuan Dijadikan Komoditas Seksual
Dalam industri pariwisata, tubuh perempuan sering menjadi bagian tak kasat mata dari “paket wisata”. Bukan hanya melalui kerja seks secara langsung, tetapi juga dalam bentuk eksotisasi dan erotisasi budaya. Perempuan lokal direpresentasikan sebagai objek eksotis, simbol budaya yang bisa dinikmati, difoto, bahkan dikonsumsi secara seksual.
Secara tidak langsung terlihat eksploitasi terhadap anak-anak dan remaja perempuan di Labuan Bajo dilakukan dengan memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuan mereka akan kerja seks. Tanpa edukasi seks yang memadai, mereka sesungguhnya juga tidak paham mengenai konsep persetujuan (consent) dalam berhubungan seksual, perlindungan tubuh, ataupun hak reproduksi. Akibatnya, mereka terjerat dalam dunia kerja seks yang eksploitatif.
Pilihan untuk menjual tubuh bukanlah pilihan bebas, jika ia lahir dari situasi tanpa alternatif. Engels menyebut bahwa dalam sistem kapitalis, perempuan diposisikan secara struktural sebagai dependen terhadap laki-laki atau pasar, sehingga keterlibatan dalam kerja seksual sering kali bukanlah tindakan bebas, melainkan strategi bertahan di bawah tekanan ekonomi yang timpang.
Hal ini juga dipertegas oleh Lydia Cacho, seorang jurnalis dan feminis dari Meksiko yang menulis buku Slavery Inc.: The Untold Story of International Sex Trafficking (2014). Ia menyatakan bahwa perempuan dalam industri seks tidak pernah menyukai komodifikasi atas tubuh mereka, karena hakikatnya mereka tidak punya banyak pilihan selain menjual tubuh sebagai sumber penghidupan. Dalam bukunya, Lydia juga menjelaskan bagaimana bisnis perdagangan tubuh perempuan dan anak diuntungkan oleh budaya yang tabu membahas seks dan kurangnya perlindungan hukum yang berpihak pada korban.
Selain itu, pekerja seks sering kali dipandang sebagai simbol kerusakan moral, meskipun mereka jelas-jelas adalah korban dari sistem yang tidak adil. Masyarakat cenderung menghakimi perempuan yang bekerja di sektor ini dan tutup mata terhadap pelaku utama sekaligus konsumen jasa seks, seperti wisatawan asing, pejabat, atau elite lokal yang secara nyata mendukung keberlanjutan praktik ini.
Baca juga: Mengapa Kita Harus Tetap Berisik Soal Pemerkosaan Massal Mei 1998?
Dalam Toward a Feminist Theory of the State (1989), Catharine Mackinnon menunjukkan bahwa hukum dan negara tidak bersifat netral, melainkan cerminan dari kepentingan patriarki. Alih-alih membongkar akar ketidaksetaraan, negara justru menggunakan hukum untuk mengatur dan menghukum tubuh perempuan, terutama ketika tubuh itu dianggap keluar dari norma “moral” yang ditetapkan laki-laki berkuasa.
Mereka tak memberi perlindungan melainkan hadir dalam bentuk razia, penggerebekan, dan kriminalisasi. Tanpa melihat konteks struktural yang melatarbelakanginya, kerja seks dianggap sebagai pelanggaran moral yang harus diberantas. Karenanya, kriminalisasi terhadap pekerja seks bukanlah bentuk perlindungan, melainkan mekanisme kontrol atas seksualitas perempuan dalam sistem yang secara struktural sudah menindas mereka.
Membongkar Stigma, Mendekatkan Empati Menuju Perubahan
Jika kerja seks di Labuan Bajo terus dilihat sebagai persoalan moral individu, kita hanya akan mengulang siklus stigmatisasi, penghakiman, dan penindasan. Narasi moral yang mereduksi kerja seks sebagai “kesalahan perempuan” justru menutupi persoalan utamanya, yaitu ketimpangan struktural yang terus menerus mendorong perempuan ke dalam posisi rentan.
Realitas ini menuntut kita untuk menggeser sudut pandang dari penghakiman menuju pemahaman yang lebih empatik dan transformatif. Kita tidak cukup hanya membicarakan perubahan pada tataran individu, sebab akar dari persoalan ini ada pada sistem yang telah gagal menjamin keadilan sosial dan ekonomi bagi perempuan.
Seharusnya, negara dapat membuka dan menjamin akses kerja yang layak bagi setiap perempuan, dalam hal ini adalah perempuan di Labuan Bajo. Pembangunan pariwisata seharusnya membawa dampak ekonomi yang inklusif, namun kenyataannya justru menciptakan ketimpangan baru. Negara dan pelaku industri harus hadir dan bertanggung jawab menyediakan pelatihan dan pekerjaan yang dapat membebaskan perempuan dari jerat eksploitasi tubuh mereka sendiri.
Memikirkan kembali cara pandang kita tentang pekerja seks yang tidak sebatas permasalahan personal, melainkan permasalahan struktural yang patriarkal, juga bagian dari perubahan. Kita perlu membongkar sistem yang telah terlalu lama membungkam suara perempuan dan mengorbankan tubuh mereka atas nama pembangunan.
Tubuh perempuan bukan medan eksploitasi, melainkan ruang politik yang harus dihormati dan dilindungi. Jika kita ingin benar-benar membela perempuan, maka yang kita perlukan adalah mentransformasikan empati kita menjadi keberanian untuk melawan ketidakadilan yang dilembagakan.

Social Media Kami