Menembus Sekat Gender dan Ras Melalui Lensa Feminisme Inklusif ala bell hooks
Di era penuh disrupsi, feminisme semakin dihadapkan pada berbagai tantangan, salah satunya soal pemaknaan. Bagi masyarakat kebanyakan, feminisme selalu diasosiasikan dengan gerakan yang berpatok pada Barat. Mereka kerap mengartikan feminisme sebagai gerakan yang berpusat pada perempuan saja. Misalnya, di media sosial ramai sindiran satir tentang perempuan juga bisa mengangkat galon sendiri tanpa bantuan laki-laki. Namun, bagaimana mungkin makna emansipasi, kesetaraan gender, atau feminisme menyempit ke persoalan galon? Apakah benar makna feminisme seperti itu?
Salah satu tokoh yang saya jadikan acuan dalam memahami feminisme adalah Gloria Jean Watkins atau yang lebih dikenal dengan nama pena bell hooks. Ia mendefinisikan feminisme sebagai gerakan yang beragam dan bisa diikuti oleh siapapun tanpa terkecuali. Dengan tagarnya yang terkenal “feminism is for everybody”, feminis kulit hitam ini memiliki sejumlah tulisan yang relevan terhadap situasi gerakan feminisme masa kini.
Melalui karya-karya, bell hooks mengkritik gerakan feminisme eksklusif yang tumbuh dan bergerak di kalangan masyarakat Amerika kala itu. Menurut bell hooks, gerakan feminisme sangat beragam dan setiap tujuan kelompok pun beragam. Namun, tetap dalam koridor yang sama yaitu menyudahi penindasan, eksploitasi, dan dominasi.
Dari Feminisme Eksklusif ke Inklusif
Feminisme pada dasarnya bukan soal kesetaraan gender. Walaupun gelombang pertama dalam gerakan feminisme di Barat, yaitu feminis liberal, memang berfokus pada tuntutan “hak yang sama”. Sebagai cikal-bakal, mereka memberikan ruang bagi feminisme berkembang. Namun, kini feminisme terus meluas dan berfokus pada perjuangan melawan penindasan, dominasi, dan memutus rantai ketidakadilan dalam masyarakat.
Kritik terhadap gerakan feminis yang cenderung eksklusif itu pun muncul dari kelompok yang terpinggirkan, salah satunya bell hooks. Sebagai perempuan kulit hitam, yang sering dianggap kelas bawah dan rendah, ia mengkritik gerakan feminisme sebagai arus utama yang hanya mewakili suara perempuan kulit putih. bell hooks menawarkan feminisme inklusif yang merangkul semua orang tanpa memandang ras, kelas, sosial, atau gender.
Feminisme inklusif tumbuh di tengah masyarakat Amerika yang diskriminatif, meski era segregasi telah usai dan perbudakan dihapuskan. Namun, warisan stigma tetap hidup, dan diturunkan dari generasi ke generasi. Sebagai contoh, perempuan kulit putih membuat perkumpulan yang hanya menerima anggota dari ras dan kelas sosial yang sama.
Diskriminasi antarperempuan Amerika inilah yang mendorong munculnya gerakan feminis kulit hitam (Black Feminism), yang dipelopori oleh bell hooks dan perempuan kulit hitam lainnya. Karenanya, feminisme inklusif bertujuan untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat berjuang bersama-untuk menciptakan ruang aman, adil, dan setara bagi semua orang. Bahkan, bagi laki-laki yang sering dianggap “dieksklusikan” dari gerakan feminis.
Gerakan Feminisme yang Sejatinya, Tak Tunggal
Sejak awal kemunculannya di Amerika, feminisme arus utama kerap dikuasai oleh suara perempuan kulit putih dan mengabaikan kelompok lainnya, terutama perempuan kulit hitam dan masyarakat rasial lainnya. Dalam Yearning: Race, Gender, and Cultural Politics (1994), bell hooks mengkritik keras hal ini karena rasisme perempuan kulit putih bahkan tuntutan narasi dominan dalam isu-isu feminis.
Melalui Feminist Theory: From Margin to Center (1984), bell hooks menegaskan “feminism is a movement to end sexism, sexist exploitation, and oppression”. Bagi hooks, feminisme bukan sekadar perjuangan perempuan melawan laki-laki, melainkan gerakan untuk menghapus segala bentuk seksisme dan penindasan yang melekat dalam struktur sosial.
Penegasan ini kembali ia kuatkan dalam Feminism is for Everybody (2000), bahwa feminisme bukan gerakan untuk satu golongan tertentu, apalagi gerakan anti laki-laki. Justru sebaliknya, feminisme sejati adalah perjuangan bersama untuk menciptakan keadilan sosial, membongkar struktur opresif, dan membangun ruang hidup yang adil dan aman bagi semua. Jika dominasi terus ada, penindasan masih terus berjalan, dan tidak terciptanya ruang aman, artinya masyarakat masih belum mendapat keadilan sosial yang merata.
Oleh karenanya, feminisme bukan gerakan tunggal yang seragam-dan belum tentu dapat diadopsi secara ‘mentah’ oleh semua negara. Konteks sosial, budaya, dan sejarah yang berbeda membuat kebutuhan setiap kelompok pun berbeda. Sebagai contoh, setiap tanggal 13 Oktober, perempuan di Amerika Serikat dan Eropa ramai menyuarakan No Bra Day (Hari Tanpa Bra).
Gerakan ini tak mengajak untuk bertelanjang dada, tapi meningkatkan kesadaran kanker payudara yang kerap menyerang perempuan.. Namun, gerakan ini tentu saja tidak bisa diadopsi secara mentah di Indonesia karena masyarakatnya masih kental dengan adat, norma, dan agama. Tapi, perempuan di Indonesia bisa turut berkontribusi dengan membagikan informasi terkait hari tersebut.
Mengapa Indonesia Perlu Menganut Feminisme Inklusif?
Sebagai negara dengan masyarakat dengan berbagai latar belakang, menurut saya, Indonesia penting mengadopsi gerakan ini. Hak ini karena, diskriminasi yang terjadi tak mengenal jenis kelamin dan gender, mulai dari minimnya upah buruh, ketimpangan akses pendidikan, hingga belum adanya ruang aman bagi korban kekerasan.
Salah satu contoh konkretnya adalah mirisnya upah bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Menurut Komnas Perempuan, upah yang didapat berkisar antara Rp500.000-2.500.000 per bulan dengan rata-ratanya masih di bawah UMR pada wilayah masing-masing. Sementara, kerja informal yang dilakukan laki-laki cenderung digaji lebih tinggi. Padahal, dalam Konvensi ILO Nomor 100, upah seharusnya setara tanpa diskriminasi jenis kelamin.
JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) terus bergerak membantu PRT untuk mendapatkan perlindungan, terkhususnya pekerja perempuan. Tindakan JALA PRT merupakan bentuk dari gerakan feminisme inklusif. Mereka secara aktif membantu ketidakadilan bagi perempuan kelas bawah yang bekerja di sektor informal karena lambannya pemerintah dalam mengesahkan RUU PRT.
Kasus ini hanyalah satu dari banyaknya contoh yang menunjukkan bahwa ketidakadilan sosial tidak hanya terjadi antargender, tetapi juga dalam konteks kelas dan status sosial. Ketika negara dan masyarakat gagal melindungi kelompok terpinggirkan, maka ketimpangan terus berlanjut dan mengakar. Padahal, sila kelima dalam Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menjadi bukti bahwa nilai-nilai feminisme inklusif sejatinya telah tertanam dalam falsafah berbangsa. Sayangnya, praktik nilai ini belum sepenuhnya terwujud.
Dalam hal ini, pemikiran bell hooks menjadi sangat relevan. Sebagai seorang feminis kulit hitam yang sering distigma sebagai bagian dari golongan bawah atau kaum terpinggirkan, bell hooks menunjukkan kepada saya bahwa feminisme sejati seharusnya berangkat dari suara mereka yang benar-benar mengalami penindasan. Dengan begitu, kita bisa membangun solidaritas guna menyuarakan keadilan secara kolektif.
Karya-karya bell hooks secara konsisten menunjukkan bagaimana kaum feminis seharusnya bersikap. Karena, feminisme bukan tentang idealisme untuk menuntut kesetaraan atau berjuang demi kepentingan pribadi. Ia harus bisa merangkul semua orang, tanpa terkecuali.
Yang lebih penting dari semua itu adalah cinta kepada sesama untuk mewujudkan tujuan yang sama; keadilan secara menyeluruh. Jika pemahaman feminisme yang kita ketahui selama ini masih keliru, membaca bell hooks bisa menjadi jalan untuk membuka pandangan yang lebih segar dan membebaskan.

Yang Yang Liu
30 Jun 2025 | 02:41 AMShe deserves this room Ira Karunia is consistently speak for woman since senior high school’ breakthrough.