Apa itu Kekerasan Seksual?
Seringkali ketika kita mendengar kata kekerasan seksual yang terlintas di kepala kita adalah pelecehan melalui sentuhan langsung, ataupun pemerkosaan. Namun kekerasan seksual tidak selalu bersifat fisik, yang dampaknya secara langsung yang dapat dirasakan oleh indera peraba dan dilihat oleh mata. Kekerasan seksual juga meliputi kekerasan nonfisik. Kekerasan nonfisik ini adalah semua pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut, yang berbau seksual dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan korban. Contohnya adalah menyebarkan video tak senonoh tanpa persetujuan korban, menyebarkan informasi seksual korban tanpa persetujuan, bahkan gestur seperti jari pun termasuk, selama menimbulkan kerugian kepada korban baik secara fisik, martabat, maupun mental.
Istilah kekerasan seksual fisik dan nonfisik ini diberikan oleh Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS), yang baru-baru dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS sebagai tindak lanjutnya. Berdasarkan definisi dari UU TPKS, dapat kita simpulkan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang bersifat seksual dan dilakukan tanpa persetujuan korban, yang mengakibatkan korban merasa tidak nyaman atau terancam. Hal yang menarik dari UU TPKS ini adalah ia menetapkan Kekerasan Seksual sebagai delik aduan, yang berarti korban harus cukup berani untuk speak up dan melaporkan kasusnya sendiri.
Adapun perbedaan pembuktian Tindak Pidana biasa dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk meringankan korban. Pembuktian dalam tindak pidana biasa umumnya membutuhkan minimal dua saksi dan satu alat bukti yaitu sebagai berikut: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun untuk TPKS tidak demikian. Pasal 24 UU TPKS menyatakan bahwa keterangan korban, didukung oleh satu alat bukti sudah cukup untuk membuktikan tindak pidana kekerasan seksual. Alat bukti yang dimaksud ini cakupannya lebih luas, mencakup alat bukti yang sudah disebutkan tadi, keterangan saksi, rekaman elektronik, dan bukti visum baik secara fisik (visum et repertum) maupun psikis (visum et psikiatrikum).
Paige Alexander, CEO dari The Carter Center pernah berkata di salah satu TED Talks beliau “when you inform women, you transform lives”. Ketika kamu memberi informasi kepada perempuan, kamu mengubah hidup mereka. Saya berharap informasi kali ini dapat membantu perempuan Indonesia untuk berani menentang dan menantang penjahat kekerasan seksual.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh perempuan Indonesia, terutama para penyintas kekerasan seksual. Stay strong, seek out for help. You're not alone in this.
Referensi
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 184.
Paige Alexander, The Story of Woman (The Story of Woman, 2024).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 5.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 24.
Tags:

Social Media Kami