Femisida: Ketika Perempuan Dibunuh Karena Mereka Perempuan
Apakah teman-teman masih ingat kasus pembunuhan jurnalis media Newsway yang terjadi bulan Maret lalu? Korban adalah seorang perempuan berusia 23 tahun bernama Juwita. Ia ditemukan tewas di tepi jalan kawasan Gunung Kupang, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, karena dibunuh oleh pacarnya sendiri, Jumran, seorang TNI AL. Kasus ini sempat ramai di media sosial dan menjadi salah satu dari banyak kasus femisida yang diangkat oleh akun @indonesiahapusfemisida.
Sayangnya, istilah femisida masih belum umum digunakan di Indonesia. Banyak media arus utama—media dengan jangkauan dan pengaruh yang besar—lebih memilih menggunakan istilah “pembunuhan perempuan”, tanpa menggali kompleksitas dan dinamika gender yang dialami oleh korban. Padahal, menyebut “pembunuhan perempuan” sebagai femisida adalah langkah penting untuk membongkar persoalan struktural yang melatarbelakanginya.
Femisida adalah Pembunuhan terhadap Perempuan
Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan karena ia adalah perempuan. Tindakan ini lahir dari kebencian, dendam, keinginan untuk menguasai, penaklukan, hingga anggapan bahwa perempuan adalah objek milik laki-laki yang bisa diperlakukan seenaknya. Itulah mengapa, femisida bukan sekadar pembunuhan biasa. Ia berbeda karena mengandung dimensi ketimpangan gender dan lahir dari budaya patriarki yang diselimuti nilai-nilai misoginis.
Secara khusus, Komnas Perempuan mengklasifikasikan femisida ke dalam beberapa kategori utama. Kategori tersebut mencakup femisida intim (intimate femicide), yaitu pembunuhan perempuan oleh pasangan atau mantan pasangan, serta femisida non-intim (non-intimate femicide), ketika pelaku bukanlah pasangan. Ada pula femisida budaya, yang mencakup sejumlah subkategori, seperti femisida atas nama kehormatan (honor-related femicide), femisida terkait mahar (dowry-related femicide), femisida karena ras, suku, atau etnis, femisida akibat tuduhan sihir, serta femisida yang terkait praktik mutilasi genital perempuan (P2GP).
Selain itu, femisida juga terjadi dalam konteks konflik bersenjata (targeted killing of women in conflict) dan femisida terhubung (murder by connection) ketika perempuan dibunuh karena keterkaitannya dengan korban utama, femisida dalam industri seks komersial, femisida terhadap perempuan dengan disabilitas, serta femisida karena orientasi seksual dan identitas gender, termasuk lesbofemicide. Terakhir, terdapat pula kategori femisida di penjara dan femisida oleh negara (state-related femicide), yang mengacu pada pembunuhan yang dilakukan dalam atau oleh institusi negara.
Makna Politis Dibalik Penggunaan Terminologi Femisida
Femisida secara spesifik menggambarkan pembunuhan perempuan yang didorong oleh faktor gender, yaitu kebencian, dominasi, atau relasi kuasa yang timpang terhadap perempuan. Dengan menggunakan istilah ini, kita telah memiliki sikap politik yang tegas dan etis untuk menyatakan kebenaran. Menyebutnya sebagai femisida berarti menolak kematian perempuan hanya sebagai peristiwa kriminal biasa. Sebaliknya, femisida terjadi karena sistem sosial yang membiarkan kekerasan terhadap perempuan berulang tanpa pertanggungjawaban yang serius.
Penggunaan istilah femisida juga membantu kita membedakannya dari pembunuhan biasa. Femisida secara tegas menyatakan bahwa pembunuhan adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang hanya dialami perempuan. Kesadaran femisida membawa kita pada sensitivitas untuk mendorong pendekatan penanganan dan pencegahan kasus pembunuhan yang berbasis pada relasi kuasa. Oleh sebab itu, femisida memungkinkan kita dapat mengungkap akar permasalahannya, yaitu patriarki dan misogonis.
Jika tidak dibedakan dengan kasus pembunuhan pada umumnya, akar masalah tersebut bisa luput dari pembahasan publik maupun kebijakan. Sehingga, femisida juga memungkinkan kita mendorong terbitnya kebijakan dan regulasi khusus, antara lain pengakuan hukum terhadap femisida sebagai kategori kejahatan tersendiri, pengumpulan data terpilah berdasarkan gender, serta penguatan perlindungan terhadap perempuan.
Tentunya, kerja-kerja advokasi ini tidak dapat terealisasi tanpa bantuan masyarakat sipil. Karena, istilah ini sangat krusial untuk meningkatkan kesadaran publik yang harapannya dapat memperkuat perjuangan kolektif terhadap kasus-kasus femisida. Terlebih, media arus utama kerap menggambarkan kasus femisida secara netral gender atau hanya sekadar sensasi untuk menaikkan engagement berita. Maka, menggunakan terminologi “femisida” bukan hanya soal diksi, tetapi tentang keberpihakan kita terhadap korban.
Menilik Masalah Struktural sebagai Dalang Femisida
Femisida lebih dari sekadar tindak kriminal personal atau kasus individu yang terjadi secara kebetulan. Jika kita masih melihat femisida disebabkan oleh “pacar yang temperamen” atau “masalah rumah tangga”, kita akan gagal memahami bahwa setiap kematian perempuan ini muncul dari sistem yang selalu memberi ruang bagi kekerasan untuk terus terjadi.
Dalam sistem patriarki, laki-laki diberikan posisi dominan dan kontrol atas perempuan, baik secara sosial, ekonomi, maupun simbolik. Kekuasaan ini menciptakan norma yang membenarkan tindakan kekerasan, bahkan pembunuhan, sebagai bentuk kontrol terhadap tubuh dan hidup perempuan, misalnya dalam konteks menjaga “kehormatan” atau menegakkan “kepemilikan” terhadap pasangan.
Femisida adalah bentuk ekstrem dari misogini, yaitu kebencian dan permusuhan terhadap perempuan yang dipandang tidak patuh atau melanggar norma sosial yang patriarkal. Dalam banyak kasus, perempuan dibunuh karena dianggap “terlalu mandiri”, “terlalu vokal”, atau karena menolak kontrol pasangan. Hal ini menciptakan kondisi yang memperbesar kerentanan perempuan terhadap kekerasan karena adanya keterbatasan akses terhadap sumber daya sosial; ekonomi; maupun politik, representasi minim dalam pengambilan keputusan, serta sistem hukum dan sosial yang kerap menyalahkan korban dan membela pelaku.
Di sisi lain, aparat penegak hukum pun sering gagal menindak tegas kasus-kasus femisida, sementara media arus utama justru memperkuat narasi usang seperti “cinta berujung maut” atau “pacaran posesif” yang mengalihkan fokus publik terhadap akar struktural dari kekerasan itu sendiri. Semua ini mencerminkan kegagalan kolektif kita sebagai warga negara Indonesia dalam menciptakan ruang yang aman dan setara bagi semua orang, terutama perempuan.
Langkah Kecil Perjuangan Keadilan Korban Femisida
Tidak semua dari kita memiliki cukup akses untuk merumuskan kebijakan apalagi mendampingi korban kekerasan. Namun, hal itu tidak berarti kita tidak dapat berbuat apa-apa. Perubahan sosial tidak harus selalu datang dari atas, bahkan kita bisa mulai dari kesadaran kolektif antarsesama. Belajar dan memahami definisi femisida serta bentuk kekerasan berbasis gender lainnya merupakan fondasi awal yang penting dimiliki sebelum kita mengedukasi orang lain.
Hal penting penting yang kerap terlupakan adalah mulai membawa diskusi tentang femisida ke lingkungan terdekat, seperti teman sebaya, keluarga, dan komunitas. Kita bisa mulai dengan menggunakan istilah femisida dalam percakapan sehari-hari, maupun saat membuat konten di media sosial. Selain alat komunikasi, bahasa juga merupakan alat politik yang membentuk cara pandang kita sebagai masyarakat sipil terhadap fenomena seperti femisida.
Sebagai pengguna media sosial, kita dapat mendukung platform edukatif yang spesifik bergerak dalam isu femisida, seperti @indonesiahapusfemisida, atau mengikuti kajian dan diseminasi riset Komnas Perempuan mengenai femisida. Kita juga bisa mendorong media-media arus utama untuk bersikap lebih bertanggung jawab dalam memberitakan kasus femisida dengan menyampaikan kritik melalui kolom komentar atau petisi.
Terakhir, kita juga harus berani menolak normalisasi kekerasan dalam relasi intim (pacaran atau pernikahan), termasuk yang sering dibungkus dengan dalih “cemburu karena cinta”. Karena, kekerasan emosional, kontrol berlebihan, serta ancaman dalam relasi bukanlah bentuk kasih sayang, melainkan tanda bahaya (red flag). Dengan memulai dari langkah-langkah kecil ini, kita turut menciptakan budaya yang menolak keras femisida dan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Social Media Kami