Vasektomi Sebagai Syarat Bansos: Politisasi Tubuh dan Kekuasaan Negara Pada Masyarakat Miskin
Wacana kebijakan yang dilakukan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengenai vasektomi yang dijadikan syarat mendapatkan bantuan sosial (bansos) memberikan perdebatan panjang. Pasalnya, pemberian Bansos merupakan bentuk tanggung jawab negara kepada warga yang berada dalam kondisi ekonomi sulit, bukan hadiah yang boleh dipersyaratkan dengan tindakan medis atau intervensi tubuh. Dalam konstitusi Indonesia, khususnya UUD 1945 Pasal 34, jelas dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Maka dari itu, mengaitkan bansos dengan vasektomi adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang melecehkan prinsip keadilan sosial.
Menjadikan prosedur medis sebagai pintu masuk untuk memperoleh hak sosial menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap bantuan. Ini bukan hanya kebijakan yang tidak etis, tetapi juga memperlihatkan betapa relasi antara negara dan warganya dapat berubah menjadi transaksional dan koersif, terutama bagi kelompok terpinggirkan. Dalam situasi ini, tubuh orang miskin diperlakukan sebagai objek negosiasi politik dan birokrasi.
Vasektomi adalah Pilihan Personal, Bukan Instrumen Administratif
Vasektomi adalah salah satu metode kontrasepsi untuk laki-laki yang aman digunakan dan lebih baik dibandingkan kontrasepsi pada perempuan yang masih banyak memiliki risiko. Metode vasektomi bisa menjadi pilihan bagi laki-laki yang ingin berpartisipasi dalam pengendalian kelahiran dan ikut berpartisipasi dalam keadilan reproduksi pada perempuan dalam rumah tangga.
Namun yang perlu ditekankan adalah vasektomi, seperti bentuk kontrasepsi lainnya, merupakan hak dan pilihan personal. Tidak ada negara atau lembaga mana pun yang berhak memaksakan keputusan medis tersebut kepada setiap orang. Selain itu, menjadikan vasektomi sebagai syarat penerimaan bansos adalah hal yang keliru. Karena, bansos adalah hak, vasektomi adalah pilihan.
Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan layanan kesehatan yang ia butuhkan. Begitu pula dengan vasektomi yang juga merupakan salah satu hak reproduksi setiap individu. Artinya, negara tidak dapat mempersyaratkan tindakan medis tertentu sebagai syarat administratif untuk menerima pelayanan publik seperti bansos. Paksaan terselubung semacam ini melanggar hak atas integritas tubuh dan otonomi individu, dua prinsip penting dalam etika kesehatan dan hukum hak asasi manusia.
Baca juga: Keadilan Reproduksi bagi Semua: Membagi Beban Tanggung Jawab Kontrasepsi dengan Laki-Laki
Politisasi Tubuh dan Kekuasaan atas Hak Reproduksi
Dalam memahami kasus ini, Adrienne Rich dalam Of Woman Born menyatakan bahwa pengalaman reproduksi perempuan—yang kemudian saya perluas konteksnya sebagai reproduksi manusia secara umum—telah “diambil alih” oleh institusi negara dan medis. Ketika negara mengintervensi ranah reproduktif dengan kebijakan seperti menjadikan vasektomi syarat bantuan sosial, hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan politik beroperasi melalui pemaksaan terhadap tubuh individu yang berada di posisi sosial paling rentan.
Sementara itu, Silvia Federici dalam Caliban and the Witch melihat kontrol atas reproduksi sebagai bagian dari strategi kapitalisme untuk mengatur tubuh laki-laki miskin. Mereka dijadikan objek kebijakan karena negara yang lebih memilih mengatur ‘produktivitas populasi’ daripada menyelesaikan akar permasalahan struktural. Negara tidak lagi netral, melainkan menjadi agen yang aktif dalam menegakkan ketimpangan melalui kontrol terhadap tubuh.
Ini sejalan dengan konsep reproductive justice oleh Loretta J. Ross. Dalam “Reproductive Justice as Intersectional Feminist Activism” ia menekankan pentingnya melihat hak reproduksi dalam kaitannya dengan ras, kelas, dan gender. Melalui lensa interseksionalitas, kebijakan yang memaksa intervensi terhadap tubuh dilihat sebagai bentuk represi sistemik terhadap masyarakat marjinal.
Mereka yang miskin tak dianggap memiliki kedaulatan atas tubuh dan pilihan reproduksinya sendiri, melainkan diposisikan sebagai objek kebijakan yang tunduk pada logika kontrol populasi dan kalkulasi demografis negara. Kebijakan semacam ini tidak hanya melanggar hak atas tubuh, tetapi juga memperkuat hierarki sosial dan menegaskan bahwa dalam struktur kekuasaan neoliberal, tubuh warga kelas bawah adalah komoditas yang bisa diatur.
Refleksi Sejarah: Dari Perempuan di Masa Orde Baru ke Laki-Laki Miskin Masa Kini
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kontrol atas tubuh warga negara bukan hal baru. Di masa Orde Baru, program KB dijalankan dengan cara yang sangat represif, terutama terhadap perempuan. Alat kontrasepsi seperti IUD dan implan dipaksakan kepada perempuan di pedesaan tanpa informasi yang layak, bahkan sering kali tanpa persetujuan yang sadar. Kampanye “Dua Anak Cukup” menjadi doktrin negara yang tidak bisa ditawar.
Kini, pola yang sama tampaknya muncul kembali. Hanya saja, sasarannya bergeser dari perempuan ke laki-laki, dari kelas menengah ke kelompok miskin. Tubuh laki-laki miskin di Jawa Barat kembali menjadi objek eksperimen kebijakan negara. Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak belajar dari kesalahan masa lalu, dan terus mewarisi pola kekuasaan yang menormalisasi intervensi atas tubuh warganya demi tujuan politik dan administratif.
Narasi yang dibangun oleh pemerintah tentang pentingnya keterlibatan laki-laki dalam kontrasepsi itu hal yang bisa diterima, namun ketika implementasinya disertai dengan pemaksaan, bersifat diskriminatif, dan disertai iming-iming ekonomi, seperti insentif bansos, niat baik tersebut berubah menjadi bentuk paksaan yang terselubung serta bagaimana negara ikut mengontrol masyarakat.
Baca juga: Politik Seksualitas: Program Keluarga Berencana (KB) sebagai Warisan Pemerintahan Orde Baru
Negara, Kemiskinan, dan Tubuh yang Diatur
Inti persoalan ini bukan hanya soal program KB, tetapi soal bagaimana negara memperlakukan kemiskinan. Dalam wacana pembangunan yang dominan, kemiskinan sering dianggap sebagai akibat dari jumlah anak yang terlalu banyak, bukan sebagai hasil dari sistem ekonomi yang timpang. Sehingga, solusinya pun menjadi simplistik, yaitu batasi kelahiran, maka kemiskinan akan selesai. Logika ini mengaburkan persoalan struktural dan menyalahkan tubuh warga miskin atas nasib mereka sendiri.
Padahal, kemiskinan lahir dari ketidaksetaraan dalam pendidikan, lapangan kerja, layanan publik, dan akses terhadap sumber daya. Negara seharusnya fokus pada pemenuhan hak-hak dasar tersebut, bukan mengatur bagaimana tubuh warga berkembang biak. Ketika negara lebih tertarik pada jumlah anak daripada kualitas hidup warganya, maka yang terjadi adalah peminggiran, bukan pemberdayaan.
Wacana vasektomi sebagai syarat bansos adalah bentuk politisasi tubuh yang melanggar prinsip keadilan, kesetaraan, dan hak asasi. Kebijakan ini tidak hanya keliru secara medis dan etis, tetapi juga menandai kemunduran demokrasi, karena negara kembali mengatur tubuh warga demi kepentingan administratif. Sebagai negara penganut demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan partisipasi, seharusnya tidak boleh ada kebijakan yang memaksa warga menyerahkan tubuhnya untuk mendapatkan hak hidup yang layak.
Oleh karena itu, kita perlu menolak segala bentuk kontrol negara atas tubuh baik terhadap perempuan di masa lalu maupun terhadap laki-laki hari ini. Tubuh bukan milik negara, dan hak atas hidup seharusnya tidak bisa dipertukarkan dengan operasi atau prosedur medis. Di tengah krisis sosial dan ekonomi, yang dibutuhkan adalah kebijakan berbasis keadilan sosial, bukan intervensi atas tubuh warga miskin. Karena pada akhirnya, martabat manusia tidak boleh dikorbankan atas nama pembangunan.
Tags:

Social Media Kami