Keadilan Reproduksi bagi Semua: Membagi Beban Tanggung Jawab Kontrasepsi dengan Laki-Laki
Dalam budaya patriarki, perempuan mengemban tanggung jawab penggunaan kontrasepsi setelah memasuki jenjang pernikahan. Selain dituntut menggunakan alat kontrasepsi, keputusan penggunaannya juga harus melalui persetujuan suami. Hal ini menunjukkan bagaimana perkawinan menjadi ranah strategis bagi laki-laki untuk mengontrol tubuh perempuan, salah satunya melalui pelimpahan tanggung jawab kontrasepsi.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2020, mayoritas akseptor kontrasepsi di Indonesia menggunakan metode hormonal, yaitu 72,9% pengguna KB suntik, 19,4% pengguna pil KB, dan 8,5% pengguna implan. Namun, selama menggunakan alat kontrasepsi hormonal, perempuan harus menjalani pemantauan rutin oleh tenaga kesehatan. Hal ini karena perubahan hormon akibat kontrasepsi memiliki dampak secara fisik dan psikis, seperti fluktuasi emosi, gangguan menstruasi, peningkatan risiko trombosis (gangguan penggumpalan darah), hingga penurunan libido.
Menilik berbagai efek samping yang ditimbulkan, banyaknya pilihan kontrasepsi justru memiliki efek yang sangat mengerikan bagi kesehatan perempuan. Sayangnya, alih-alih bebas menentukan jenis kontrasepsi, perempuan malah terkungkung dalam ilusi pilihan karena tetap harus menanggung efek samping yang ditimbulkan.
Di sisi lain, pilihan metode kontrasepsi yang disediakan untuk laki-laki hanya ada dua: kondom dan vasektomi–yang tidak menimbulkan efek samping apa pun. Namun, budaya patriarki selalu punya cara untuk memengaruhi laki-laki agar enggan berpartisipasi aktif. Misalnya, banyak laki-laki yang menolak menggunakan kondom dengan dalih tidak nyaman saat berhubungan seksual.
Sementara itu, vasektomi masih belum populer di kalangan masyarakat karena stigma yang melekat pada maskulinitas laki-laki. Vasektomi sering kali dianggap sebagai bentuk “pengebirian” atau upaya untuk menghilangkan kejantanan, bahkan menyebabkan impotensi atau disfungsi ereksi. Banyak laki-laki yang masih percaya bahwa vasektomi akan memengaruhi kemampuan seksual dan mengubah citra diri mereka sebagai laki-laki “sejati” di hadapan pasangan serta masyarakat.
Beban Kontrasepsi yang Merugikan Perempuan
Tanggung jawab penggunaan kontrasepsi yang dititikberatkan kepada perempuan menggambarkan bagaimana beban ganda (double burden) bekerja. Secara definisi, beban ganda merujuk pada kenyataan bahwa perempuan yang bekerja di ranah publik (pekerjaan berbayar) juga harus bertanggung jawab atas kerja domestik yang tidak dibayar di luar jam kerja formalnya, seperti mencuci baju, memasak, membersihkan rumah, dan lain-lain. Konsep ini diperkenalkan oleh Arlie Hochschild dalam bukunya yang berjudul “The Second Shift: Working Families and the Revolution at Home” (1989).
Jika ditarik dalam konteks tanggung jawab kontrasepsi, konsep beban ganda merujuk pada situasi perempuan tidak hanya dihadapkan pada tekanan untuk memilih metode kontrasepsi yang tepat, tetapi juga harus menanggung sebagian besar tanggung jawab dalam mengelola penggunaannya. Perempuan diharapkan untuk mencari metode yang sesuai dengan kondisi tubuh mereka, mempertimbangkan risiko dan efek samping, serta menanggung konsekuensi dari pilihan yang dibuat, terutama setelah melahirkan ketika tubuh masih dalam proses pemulihan.
Perempuan juga berperan sebagai pihak yang paling aktif melakukan pemantauan kontrasepsi dengan melakukan kontrol berkala ke tenaga kesehatan. Sebuah riset di Indonesia menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan distress emosional yang berkontribusi pada masalah kesehatan lainnya seperti hipertensi atau tekanan darah tinggi. Dengan demikian, perempuan tidak hanya dituntut harus mengelola kesehatan fisik tetapi juga bertanggung jawab atas kondisi kesehatan mental yang terdampak dari penggunaan kontrasepsi.
Tanpa menggunakan kontrasepsi pun tubuh perempuan selalu merasakan dampak dari perubahan hormonal, yaitu menjelang dan sesudah menstruasi. Dengan kata lain, tanggung jawab penggunaan kontrasepsi semakin memperparah kesehatan tubuh perempuan karena tidak semua perempuan memiliki privilese untuk menolak penggunaan alat kontrasepsi.
Kontrasepsi sebagai Kerja Reproduktif yang Tidak Dibayar
Kerja reproduktif mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan untuk memelihara dan menunjang kualitas kehidupan sehari-hari dalam keluarga, seperti hamil, persalinan, menyusui, tugas domestik, dan perawatan anak. Christine Delphy dan Silvia Federici, dua tokoh feminis materialis, berpendapat bahwa pekerjaan ini sering kali dianggap bukan sebagai “pekerjaan” karena tidak bernilai dalam standar ekonomi pasar. Padahal, kerja reproduktif secara substansial berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Penggunaan kontrasepsi juga diklasifikasikan sebagai kerja reproduktif. Hal ini karena alat tersebut tidak hanya digunakan sebagai upaya untuk mengatur jarak kehamilan, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas sosial dan ekonomi secara luas. Federici, dalam analisisnya tentang kerja reproduktif, menekankan bahwa sistem kapitalisme sangat bergantung pada tenaga kerja yang direproduksi melalui kerja-kerja domestik yang tidak dibayar, termasuk pengendalian kelahiran.
Dalam konteks ini, keterlibatan aktif perempuan dalam penggunaan kontrasepsi telah membantu negara mengendalikan ledakan angka kelahiran, menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan bayi (AKB), serta mendukung keberlanjutan sistem kesehatan dan ekonomi. Hal ini adalah fondasi tak terlihat yang menopang kesejahteraan masyarakat, meskipun sering kali diabaikan dan sepenuhnya dibebankan kepada perempuan.
Di sisi lain, Delphy juga menjelaskan bahwa beban kerja ini tidak proporsional ditanggung oleh perempuan. Dalam pembagian beban kontrasepsi yang timpang, perempuan secara tidak langsung dieksploitasi karena kerja reproduktif mereka dianggap sebagai “tanggung jawab alami” yang tidak perlu dihargai atau diberi kompensasi. Faktanya, perempuan harus menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengunjungi fasilitas kesehatan, membeli alat kontrasepsi, mengelola efek samping, serta memastikan penggunaan kontrasepsi tetap berjalan sesuai jadwal.
Pada banyak kasus, perempuan juga menanggung biaya finansial kontrasepsi, terutama jika alat kontrasepsi yang digunakan tidak disubsidi oleh negara. Sementara itu, laki-laki tidak dituntut oleh sistem dan negara untuk mengambil peran dalam manajemen kontrasepsi, sehingga mereka terbebas dari beban ini.
Partisipasi Aktif Laki-laki dalam Membantu Mewujudkan Keadilan Reproduksi
Satu hal yang harus dilakukan laki-laki untuk membantu mengurangi beban kontrasepsi yang diemban perempuan, yaitu lebih aktif terlibat dalam penggunaan kondom dan vasektomi. Advokasi keadilan reproduksi perlu mendorong agar laki-laki tidak hanya sekadar mendukung keputusan perempuan dalam memilih kontrasepsi, tetapi juga secara langsung mengambil inisiatif dalam mengelola tanggung jawab penggunaan kontrasepsi.
Hal tersebut bisa diwujudkan dengan menggunakan kondom secara konsisten dalam setiap aktivitas seksual, serta mempertimbangkan vasektomi sebagai pilihan kontrasepsi jangka panjang. Selain itu, laki-laki dapat lebih aktif mencari informasi tentang berbagai metode kontrasepsi, berdiskusi secara terbuka mengenai opsi yang paling aman dan nyaman bagi kedua belah pihak, serta menentang stigma sosial yang menghambat partisipasi mereka dalam berkontrasepsi.
Dengan meningkatnya partisipasi laki-laki, perempuan tidak lagi menjadi satu-satunya pihak yang harus terbebani tanggung jawab kontraseps. Selain itu, perempuan tidak harus terus-menerus menanggung efek samping dari kontrasepsi hormonal yang selama ini memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Keterlibatan laki-laki juga dapat menciptakan relasi yang lebih setara dalam rumah tangga, ketika keputusan mengenai kontrasepsi menjadi tanggung jawab bersama.
Namun, redistribusi tanggung jawab ini tidak dapat terjadi tanpa adanya usaha “mendobrak” norma patriarki yang selama ini membentuk stigma terhadap metode kontrasepsi laki-laki. Oleh sebab itu, kampanye edukasi harus menormalisasi vasektomi sebagai tindakan tanggung jawab dan penggunaan kondom sebagai bagian dari keadilan reproduktif. Melibatkan laki-laki dalam diskusi tentang kontrasepsi bukan hanya tentang berbagi beban dengan perempuan, tetapi juga tentang membangun relasi yang lebih setara dalam rumah tangga dan masyarakat.

Social Media Kami