Selain Donatur, Dilarang Ngatur? Menolak Relasi Kuasa dalam Cinta dan Pernikahan
Baru-baru ini, sebuah video viral memperlihatkan seorang perempuan yang mengatakan, “Selain Donatur, Dilarang Ngatur!” sambil menyindir bahwa laki-laki yang tersinggung dengan ucapannya adalah laki-laki miskin. Pernyataan ini memicu perdebatan tentang peran laki-laki sebagai provider dalam hubungan, sementara perempuan dianggap sebagai penerima. Seolah-olah, laki-laki yang memberikan uang berhak mengatur pasangannya.
Pemahaman ini mengasumsikan bahwa relasi dalam pernikahan bersifat hierarkis, ketika pihak yang memiliki sumber daya ekonomi berhak mengendalikan pihak lainnya. Padahal, dalam hubungan, tidak seharusnya ada yang mengatur dan diatur. Relasi yang sehat dibangun atas dasar kesetaraan dan kebebasan, bukan kekuasaan berbasis ekonomi.
Mengapa Laki-laki Harus Mengatur?
Dalam budaya patriarki, laki-laki diposisikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, sementara perempuan diharapkan untuk mengurus rumah tangga. Peran ini dibentuk oleh konstruksi sosial yang telah berlangsung selama berabad-abad, ketika perempuan ditempatkan dalam ranah domestik, sementara laki-laki berperan di ruang publik. Akibatnya, muncul anggapan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab ekonomi terhadap perempuan, yang kemudian dianggap sebagai dasar bagi laki-laki untuk mengontrol kehidupan perempuan.
Sejarah kapitalisme memperkuat gagasan ini dengan menempatkan perempuan dalam posisi ketergantungan ekonomi. Selama industrialisasi, perempuan didorong keluar dari ruang produksi dan diarahkan untuk berperan sebagai ibu rumah tangga. Dengan keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi, perempuan kehilangan otonomi atas dirinya sendiri.
Hal ini memperkuat struktur kekuasaan ketika laki-laki memiliki kontrol penuh atas kehidupan perempuan. Akibatnya, perempuan yang menerima nafkah dari laki-laki sering kali dianggap harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh pasangannya. Pandangan ini secara tak langsung menghilangkan agensi perempuan dalam hubungan dan menjadikan mereka objek yang dapat dikendalikan berdasarkan kontribusi finansial laki-laki.
Apakah Hubungan Cinta Kemudian Dikomodifikasikan?
Dalam masyarakat kapitalis, hubungan cinta tidak lagi sekadar ikatan emosional antara dua individu, tetapi sering kali direduksi menjadi transaksi ekonomi. Konsep nafkah dalam pernikahan dijadikan alat legitimasi bagi laki-laki untuk mengatur pasangan mereka. Fenomena ini sejalan dengan kritik Erich Fromm dalam The Art of Loving (1956), saat ia menyoroti bagaimana cinta dalam masyarakat modern sering kali diperlakukan layaknya komoditas. Singkat kata, cinta bukan lagi tentang kebebasan dan pengorbanan, melainkan tentang pertukaran dan ekspektasi timbal balik.
Dari sudut pandang kapitalisme, hubungan romantis sering kali dikaitkan dengan pemberian materi. Istilah “Selain Donatur, Dilarang Ngatur!” memperlihatkan bagaimana peran ekonomi dalam hubungan menjadi alat kontrol sosial. Jika cinta bergantung pada siapa yang memiliki sumber daya finansial, maka hubungan tersebut tidak lagi berlandaskan pada keintiman dan kebebasan, melainkan pada relasi kuasa yang timpang. Pemikiran ini semakin menjauhkan kita dari pemahaman cinta sebagai sesuatu yang otonom dan murni.
Selain itu, kapitalisme juga menciptakan standar kebahagiaan yang dikaitkan dengan kepemilikan materi. Hubungan romantis yang ideal sering kali digambarkan melalui pemberian hadiah-hadiah mewah, liburan eksklusif, dan kehidupan yang glamor. Cinta kemudian menjadi produk yang dipasarkan, sesuatu yang dapat dibeli atau dijual melalui simbol-simbol material.
Hubungan yang Setara, Tidak Ada yang Mengatur dan Diatur
Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness berpendapat bahwa jika cinta direduksi menjadi transaksi ekonomi akan mengaburkan makna cinta itu sendiri. Ia menekankan bahwa cinta harus didasarkan pada kebebasan, bukan pada kepemilikan atau kendali. Hubungan yang sehat adalah hubungan yang memungkinkan kedua individu untuk tetap memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan dan arah hidup mereka. Jika cinta berubah menjadi alat kontrol, maka yang terjadi bukan lagi cinta, melainkan dominasi.
Simone de Beauvoir dalam The Second Sex menyoroti bagaimana institusi pernikahan sering kali menjadi alat untuk mengekang perempuan. Ia menegaskan bahwa perempuan harus memiliki kebebasan dalam hubungan dan tidak hanya dianggap sebagai pasangan yang harus tunduk pada aturan laki-laki. Bagi de Beauvoir, pernikahan yang ideal bukanlah hubungan di mana salah satu pihak berhak mengatur yang lain, melainkan hubungan yang memungkinkan kedua belah pihak untuk berkembang secara setara dan memiliki kebebasan dalam menentukan arah hidup mereka.
Namun, kenyataannya, banyak perempuan akhirnya menjadikan pernikahan sebagai pekerjaan karena mereka diberi nafkah oleh laki-laki dan diharapkan untuk mengurus rumah tangga serta anak-anak. Posisi ini menjebak perempuan dalam ketergantungan ekonomi yang membuat mereka tidak memiliki otonomi untuk berkembang. Ketika perempuan mengorbankan kemandirian mereka demi status “istri” atau “ibu”, mereka kehilangan kesempatan untuk mengejar kebebasan dan pengembangan diri.
Menurut de Beauvoir, pernikahan yang dianggap sebagai kontrak ekonomi justru memperkuat posisi subordinasi perempuan. Ketergantungan finansial ini menjadikan perempuan rentan terhadap kontrol dan kekuasaan laki-laki karena mereka tidak diberi kesempatan yang sama untuk berkembang secara mandiri. Pandangan ini menegaskan bahwa hubungan tidak boleh menjadi ruang hierarki ketika satu pihak mendominasi pihak lainnya, melainkan harus didasarkan pada kebebasan dan penghargaan terhadap otonomi masing-masing individu.
Prinsip Cinta Sukarela Tidak Sama dengan Kontrol
Dalam hubungan romantis, sering kali seseorang secara sukarela mengikuti preferensi pasangannya, seperti memakai parfum yang disukai pasangan atau memasak makanan favoritnya. Tindakan ini dilakukan atas dasar kasih sayang dan keinginan untuk menyenangkan pasangan. Namun, perlu dipahami bahwa prinsip cinta tidak sama dengan kontrol.
Cinta yang sehat harus didasarkan pada kesukarelaan, bukan pada paksaan atau tuntutan sebagai imbalan atas pemberian materi. Ketika seseorang merasa berhak mengatur pasangannya hanya karena telah memberikan uang, rumah, atau barang lainnya, maka hubungan tersebut telah bergeser dari cinta menjadi bentuk dominasi.
Karena, hubungan yang setara adalah hubungan ketika kedua belah pihak memiliki kebebasan penuh atas diri mereka sendiri tanpa harus kehilangan otonomi hanya karena faktor ekonomi. Ketika dalam suatu hubungan hanya melihat dalam hal material maka akan mengaburkan hal lainnya yang justru terjadi hanya dominasi dan relasi yang timpang.
Pada akhirnya, cinta yang sejati tidak dapat tumbuh subur di atas fondasi dominasi dan ketergantungan. Hubungan yang sehat adalah hubungan yang memungkinkan setiap individu untuk berkembang secara bebas dan setara. Jika cinta hanya menjadi instrumen untuk mengontrol orang lain, maka yang terjadi bukanlah cinta, melainkan penindasan.
Tags:

Social Media Kami