Menentang Standar Kecantikan yang Dibentuk Media: Menerima Diri dan Merayakan Keberagaman
Sejak lama, media memiliki peran besar dalam menciptakan standar kecantikan. Jika kita melihat kembali sejarahnya, dari majalah mode hingga iklan televisi, ada pola yang jelas mengenai seperti apa kecantikan yang dianggap ideal dalam suatu periode tertentu.
Di era 90-an dan awal 2000-an, misalnya, tubuh yang sangat kurus dengan kulit putih mulus menjadi standar yang mendominasi dunia fashion dan hiburan. Mengutip The Guardian, model seperti Kate Moss dengan tubuh “heroin chic” menjadi ikon kecantikan saat itu. Namun, di dekade berikutnya, tren mulai bergeser ke tubuh lebih berisi dengan bentuk yang lebih menonjol, seperti yang dipopulerkan oleh selebriti seperti Kim Kardashian.
Perubahan ini menunjukkan bahwa standar kecantikan selalu berubah, tetapi tetap saja dibentuk oleh media dan industri yang memiliki kepentingan komersial.
Media yang Mengkonstruksi Standar Kecantikan
Masifnya penggunaan media sosial semakin memperkuat standar ini dengan algoritma yang cenderung menampilkan konten yang seragam. Banyak influencer dan selebriti yang memiliki wajah dan tubuh dengan ciri yang hampir sama; hidung kecil, bibir penuh, hingga kulit mulus tanpa cela. Efek filter dan editing juga membuat standar kecantikan menjadi semakin tidak realistis, karena banyak dari tampilan yang kita lihat sebenarnya telah mengalami proses digital yang signifikan.
Dalam buku Culture, Society and The Media (2005), Stuart Hall menginisiasi konsep representasi; makna tidak melekat pada suatu objek atau konsep secara alami, melainkan diciptakan melalui praktik representasi dalam budaya. Dalam konteks di Indonesia, kulit putih sering kali direpresentasikan sebagai simbol kesuksesan, kebersihan, dan daya tarik melalui iklan produk kecantikan. Hal ini menciptakan oposisi biner antara kulit putih yang diasosiasikan dengan hal-hal positif dan kulit gelap yang secara implisit dikaitkan dengan kebalikannya.
Narasi ini bukan hanya berakar pada preferensi estetika, tetapi juga pada sejarah kolonialisme yang masih meninggalkan jejak dalam cara masyarakat memandang ras dan warna kulit. Di banyak negara yang pernah mengalami kolonialisme, termasuk Indonesia, warna kulit yang lebih terang sering kali diasosiasikan dengan status sosial yang lebih tinggi. Sayangnya, jejak kolonial ini terus berlanjut dalam industri kecantikan modern, ketika produk pemutih kulit tidak hanya menjual krim atau serum, tetapi juga menjual harapan akan mobilitas sosial dan penerimaan yang lebih luas.
Selain itu, iklan produk pemutih kulit juga sering kali menampilkan model dengan kulit cerah sebagai standar kecantikan yang ideal. Model-model ini kerap digambarkan sebagai lebih bahagia, sukses, dan lebih disukai dalam lingkungan sosial maupun profesional. Sementara itu, individu dengan kulit lebih gelap kerap diwakili dalam narasi yang kurang menguntungkan, seolah-olah kulit gelap adalah sesuatu yang harus diubah atau diperbaiki. Representasi semacam ini memperkuat hierarki warna kulit yang membentuk bagaimana masyarakat memandang diri mereka sendiri dan orang lain.
Dalam banyak iklan di Indonesia, retorika tentang pemutihan kulit juga dikaitkan dengan konsep ‘pencerahan’, baik secara harfiah maupun metaforis. Misalnya, produk pemutih sering kali dipromosikan dengan frasa seperti “mencerahkan kulit dalam 7 hari” atau “membantu mengungkap kecantikan alami”. Penggunaan kata-kata ini tidak hanya mengasosiasikan kulit putih dengan keindahan tetapi juga dengan peningkatan diri dan kesuksesan.
Memahami Interseksionalitas dalam Standar Kecantikan
Namun, yang sering terlupakan dalam narasi ini adalah dampaknya terhadap individu yang memiliki warna kulit lebih gelap. Standar kecantikan yang sempit ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri, diskriminasi berbasis warna kulit, dan tekanan sosial untuk mengubah penampilan agar sesuai dengan norma yang dominan. Selain itu, produk pemutih kulit sering kali mengandung bahan kimia yang berisiko bagi kesehatan, sehingga dorongan untuk memiliki kulit lebih terang tidak hanya berdampak secara psikologis tetapi juga fisik.
Namun, penting juga untuk mempertimbangkan interseksionalitas dalam pembahasan ini. Tidak semua orang mengalami tekanan untuk memiliki kulit putih dengan cara yang sama. Faktor-faktor seperti kelas sosial, etnisitas, dan gender turut memengaruhi bagaimana seseorang dipengaruhi oleh standar kecantikan ini.
Misalnya, perempuan dari kelompok etnis tertentu mungkin menghadapi tekanan lebih besar untuk memutihkan kulit dibandingkan dengan kelompok lain. Di sisi lain, laki-laki mungkin mengalami standar yang berbeda terkait warna kulit mereka, meskipun semakin banyak produk pemutih yang kini juga menargetkan mereka.
Dengan memahami bagaimana representasi bekerja dalam iklan produk pemutih kulit, kita dapat mulai mendekonstruksi narasi yang menormalisasi hierarki warna kulit. Kesadaran kritis terhadap standar kecantikan ini menjadi langkah awal untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif, ketika kecantikan tidak diukur hanya dari seberapa terang warna kulit seseorang, tetapi dari keberagaman yang ada dalam tubuh manusia.
Peran Industri dalam Mempromosikan Standar Kecantikan yang Lebih Inklusif
Tentu saja, saya sebagai individu terus berusaha membebaskan diri dari standar kecantikan yang menekan. Namun, perubahan yang lebih besar juga harus datang dari industri itu sendiri. Perusahaan media dan brand kecantikan perlu lebih sadar akan dampak yang mereka timbulkan terhadap persepsi diri banyak orang.
Beberapa brand kini mulai mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif, seperti dengan menggunakan model dari berbagai latar belakang dan tidak terlalu mengandalkan editing berlebihan dalam iklan mereka. Namun, menurut pandangan saya, masih ada jalan panjang yang harus ditempuh.
Banyak brand masih menggunakan “diversity marketing” sebagai strategi pemasaran tanpa benar-benar berkomitmen untuk mendukung perubahan yang lebih besar dalam industri. Oleh karena itu, sebagai konsumen, kita juga bisa berkontribusi dengan memilih produk dari brand yang benar-benar mendukung keberagaman dan kesehatan mental konsumennya–bukan hanya hadir secara tokenisme yang berujung pada performative activism.

Social Media Kami