Melihat Kembali Wacana “Cowok Greenflag” pada Tokoh Gwansik dalam When Life Gives You Tangerines
Melihat Kembali Wacana “Cowok Greenflag” pada Tokoh Gwansik dalam When Life Gives You Tangerines
Pada bulan Maret lalu, drama Korea When Life Gives You Tangerines menjadi perbincangan hangat. Banyak penonton, terutama perempuan, membanjiri media sosial dengan ulasan penuh antusiasme terhadap karakter laki-laki yang dianggap sebagai “greenflag” ideal, yaitu Gwansik. Karena, ia digambarkan sebagai sosok suami dan ayah yang rela berkorban dalam berbagai situasi.
Ia juga selalu menuruti keinginan istrinya, hadir penuh untuk anak-anaknya, bekerja keras setiap hari sebagai nelayan, dan memastikan kebutuhan keluarganya terpenuhi. Tidak mengherankan jika banyak perempuan di media sosial menyatakan keinginannya untuk memiliki pasangan seperti Gwansik, termasuk saya sendiri. Namun, fenomena ini menarik untuk dikaji lebih kritis, mengingat drakor tersebut membawa berbagai lapisan makna kehidupan terkait harapan, realitas relasi, dan konstruksi sosial tentang gender.
Gwansik memang digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tidak banyak bercerita tentang kesulitan yang ia rasakan kepada istri dan anak-anaknya, tetapi diam-diam memikul beban hidup yang sangat berat. Mulai dari kehilangan anak laki-laki bungsunya, Dongmyeong, hingga harus menjual harta bendanya demi meloloskan anak laki-laki tengahnya, Eunmyeong, dari penjara. Banyaknya kegetiran hidup Gwansik memberi kesan kepada keluarganya, menjadi seorang pemimpin keluarga yang siap dihadang badai apa pun asal keluarganya selamat.
Namun, salah satu adegan di akhir episode ke-16 menggelitik perspektif saya soal Gwansik. Dalam adegan tersebut, sang istri, Aesun menceritakan kepada putri sulung mereka, Geummyeong, bahwa Gwansik sepanjang hidupnya hampir tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Sejak muda, Gwansik bekerja tanpa henti demi istri dan anak-anaknya, hingga akhirnya di masa tua ia divonis mengidap kanker darah. Adegan ini mendorong saya untuk meninjau drakor ini dari sudut pandang lain, yang menurut saya penting untuk diangkat dalam diskusi mengenai kesetaraan gender yang lebih substansial.
Berdasarkan kegelisahan tersebut, saya berdiskusi dengan salah satu teman laki-laki saya, Azizi, untuk mendengarkan pandangannya terkait fenomena “greenflag” yang dilekatkan kepada tokoh Gwansik.
Romantisasi “Greenflag” dan Beban Maskulinitas
Berawal dari banyaknya konten-konten tentang ke-greenflag-an Gwansik di Instagram, akhirnya Azizi memutuskan menonton drakor ini. Walaupun hanya sampai episode dua. Namun, ia merasa tidak nyaman untuk melanjutkan menontonnya sampai selesai. Dari dua episode itu, ia melihat bahwa hubungan Aesun dan Gwansik sudah tidak berimbang sejak awal. Menurutnya, Gwansik memberi lebih banyak effort–bahkan nyaris sempurna–kepada Aesun. Sementara Aesun, tidak melakukan sebaliknya. Bagi Azizi, Aesun tampak seperti memanfaatkan kebaikan Gwansik.
Saya seketika memahami konteks yang dimaksud Azizi. Ia sedang merujuk pada adegan kedua pasutri ini berjualan di pasar. Gwansik selalu membantu Aesun berjualan, termasuk menawarkannya kepada orang-orang yang berlalu lalang. Dari situ, timbul pertanyaan dari Azizi, “Memang, dalam cinta kalkulasi matematis tak bekerja, tetapi apakah hubungan yang sedemikian [adalah hubungan yang] sehat? Ke-tampaksempurna-an dari [tokoh] protagonis laki-laki (Gwansik) itu pun, yang sepertinya, bikin penonton perempuan meromantisasi gambaran yang dilakonkan protagonis laki-laki itu, mengidam-idamkan laki-laki selayaknya yang ditampilkan protagonis laki-laki di drakor itu (selalu perhatian, selalu berkorban, dsb.)..”
Menurut Azizi, drakor ini sejatinya tidak secara langsung meromantisasi penderitaan laki-laki. Justru, para penonton, yang sebagian besar perempuan, secara tidak sadar meromantisasi tokoh Gwansik sebagai sebuah standar ideal baru laki-laki. Ia berpendapat bahwa konstruksi ini sebenarnya lahir dari cara pandang patriarkal yang merugikan tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Ia menegaskan, “Celakanya, romantisasi gambaran laki-laki seperti itu berpotensi mengabaikan penderitaan laki-laki, atau bahkan, dalam kasus yang ekstrem, menganggapnya sebagai kodrat laki-laki.”
Sebagaimana patriarki membebankan standar irasional kepada perempuan, sistem yang sama juga menempatkan laki-laki dalam posisi yang penuh tuntutan. Awalnya saya sempat menduga bahwa Azizi menyalahkan perempuan, termasuk saya, yang menikmati drama ini dan mendambakan sosok suami seperti Gwansik. Namun, setelah mendengarkan lebih lanjut, saya menyadari bahwa justru cara pikir patriarkilah yang mendorong perempuan untuk mengadopsi standar tidak realistis terhadap laki-laki.
Dalam diskusi kami, saya mengajak Azizi menyoroti bahwa media hiburan, seperti drama ini, pada umumnya kerap kali menjadi wadah yang tanpa sadar mereproduksi nilai-nilai patriarkal. Drama-drama ini membentuk dunia imajinasi yang menawarkan harapan kepada perempuan akan relasi yang sehat dan suportif di tengah kenyataan pahit bertemu dengan laki-laki “redflag” dalam kehidupan nyata.
Sayangnya, dunia imaji ini juga berpotensi menjadi jebakan ketika diidentifikasi sepenuhnya sebagai standar realitas. Standar tersebut, meski sekilas tampak progresif, tetap berakar pada nilai-nilai patriarkal dan kapitalistik yang menguntungkan industri hiburan. Sekaligus, jauh dari definisi hubungan sehat yang setara.
Membaca Ulang Relasi Sehat di Tengah Standar Patriarki yang Tidak Realistis
Saya memahami bahwa tidak semua perempuan dapat menerima pandangan yang disampaikan Azizi. Sebab, mendekonstruksi ulang peran-peran gender yang lekat dengan ekspektasi patriarki memang sebuah proses yang panjang dan perlu kedewasaan dalam berpikir, termasuk diskusi terbuka dan sehat jika hal tersebut memberatkan salah satu pihak. Oleh karena itu, saya merasa perlu untuk memberikan perspektif saya sendiri sebagai penyeimbang diskusi ini.
Di balik perdebatan mengenai romantisasi ke-greenflag-an Gwansik, saya justru melihat drama ini berusaha melemparkan pertanyaan kritis tentang bagaimana seharusnya relasi yang sehat itu dibangun. Tokoh Gwansik diperlihatkan sebagai seorang laki-laki yang mencoba memutuskan rantai maskulinitas beracun yang diwariskan oleh keluarganya secara turun-temurun. Hal ini tampak dalam salah satu adegan ketika Gwansik memilih untuk makan satu meja bersama istri dan anak-anaknya. Tindakan tersebut melawan norma budaya Korea tahun 1940-an, ketika anak laki-laki yang sudah menikah harus tetap makan bersama orang tuanya.
Relasi sehat, menurut saya, tidak dapat dikurung dalam standar-standar tertentu yang kaku. Setiap pasangan membangun definisinya masing-masing berdasarkan nilai yang mereka sepakati bersama. Namun demikian, relasi yang sehat setidaknya mensyaratkan penghormatan terhadap otonomi, keseimbangan peran, serta kehadiran emosional tanpa paksaan atau pengorbanan diri yang berlebihan.
Dalam masyarakat patriarki, mempertanyakan ulang nilai-nilai tentang maskulinitas dan femininitas memang bukan perkara mudah. Banyak orang tidak menyadari bahwa standar yang mereka anut lahir dari sistem nilai yang diwariskan begitu saja tanpa ruang untuk berpikir kritis. Sebuah kutipan dari Azizi tampaknya merangkum refleksi ini dengan baik, “Sayangnya, manusia itu terlempar ke dalam dunia yang sudah penuh dengan nilai. Sejak menyadari keterlemparan itu, sejak itu pula manusia telah mengadopsi nilai-nilai di tempatnya. Tidak banyak orang memahami ini, hingga meyakini itu sebagai jalan hidup yang mutlak.”
Melalui drama ini, barang kali kita diajak untuk tidak sekadar mendambakan sosok “greenflag” seperti Gwansik, tetapi juga membuka diskusi yang lebih kritis tentang bagaimana nilai-nilai patriarkal mengonstruksi harapan kita terhadap relasi, cinta, dan pengorbanan, baik dari laki-laki maupun perempuan. Dan, bagaimana kita, sebagai perempuan, juga bisa menciptakan sosok Gwansik dalam diri kita agar dapat membangun relasi yang sehat.
Tags:

Social Media Kami