Perempuan dan Keraguan dalam Dirinya
Belakangan, saya benar-benar baru menyadari betapa sempitnya kesempatan untuk perempuan di dunia ini. Impian perempuan seperti dihalang berlapis-lapis tembok. Untuk menghancurkannya, perlu usaha yang lebih keras. Namun, seringkali dalam perjalanan untuk menghancurkannya, perempuan selalu diragukan kemampuannya. Keraguan-keraguan itu perlahan menjalar dalam diri perempuan, merasuki pikirannya, dan perlahan perempuan ikut meragukan dirinya.
Sayalah perempuan yang sedang meragukan diri sendiri itu. Keraguan itu makin menumpuk seiring dengan banyaknya kegagalan yang saya alami. Semua berawal dari ketika lulus SMA kemudian saya memutuskan untuk kuliah.
“Untuk apa kuliah? Ujung-ujungnya perempuan di dapur juga.”
“Kamu enggak usah kuliah. Menghabiskan uang orang tuamu saja. Menikah saja seperti sepupumu.”
“Tidak usah kuliah. Dari mana uangnya? Bekerja saja lalu menikah.”
Begitulah suara-suara sumbang yang menyoraki keputusan saya. Tidak saya dengarkan karena saya yakin bisa membuktikan diri bahwa saya akan sukses dengan keputusan saya. Namun, keyakinan yang kuat itu berganti dengan keraguan ketika saya tidak lulus kuliah tepat waktu. Makin menumpuk ketika saya tidak kunjung diterima bekerja setelah mengirim banyak sekali lamaran. Suara-suara sumbang itu memenuhi pikiran saya. Benarkah seharusnya saya tidak kuliah? Saya terus menanyakannya terhadap diri saya. Saya seakan lupa dengan esensi dari saya memutuskan untuk kuliah. Perlahan, saya menilai diri saya dari berhasil atau tidaknya saya menghasilkan uang.
Makin hari, kepala saya makin menunduk. Saya menarik diri dari lingkungan sosial dan mengurung diri di kamar. Tidak ingin saya lihat tatapan dan dengar suara-suara yang menilai diri saya dari mampu atau tidaknya saya menghasilkan uang. Saya terus merenung, meragukan diri, dan menanyakan banyak hal berulang-ulang.
Kenapa prestasi yang saya miliki tidak lebih membanggakan dari menjadi anak yang bisa menghasilkan uang? Kenapa pula menikah dan memiliki anak lebih membanggakan dari prestasi yang saya miliki? Kenapa menghasilkan uang, menikah, dan memiliki anak digunakan untuk mendefinisikan kegunaan saya hadir di dunia?
Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala saya tidak pernah mendapatkan jawaban, sedangkan keraguan dalam diri yang menumpuk itu akhirnya merenggut rasa percaya diri saya. Makin bertambah usia saya, makin saya takut menghadapi masa depan. Saya seperti sedang lomba lari dengan waktu. Akibatnya, keraguan yang berujung merenggut rasa percaya diri terus menghambat diri saya untuk berkarya. Saya menjadi takut gagal. Saya tidak percaya diri dengan karya yang saya hasilkan dan terus berpikir karya yang saya buat tidak bagus. Pun demikian, tidak ada dukungan yang saya peroleh selain tekanan dari berbagai sisi. Hal yang saya alami ini terjadi karena adanya kesenjangan gender.
Kesenjangan gender mengacu pada adanya perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses berbagai aspek kehidupan. Kesenjangan gender paling dekat yang dialami perempuan berasal dari lingkungan keluarga yang seharusnya memberikan dukungan serta rasa aman dan kenyamanan. Seperti adanya pembedaan dalam hal mengakses pendidikan.
Dalam jurnal Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Gender dalam Akses dan Partisipasi Pendidikan Tinggi di Indonesia (2024), dijelaskan bahwa masyarakat Indonesia memiliki pandangan tradisional yang sudah mengakar terhadap peran gender yang memandang peran perempuan ada dalam ranah domestik, seperti mengurus rumah tangga, melahirkan dan mengurus anak, serta mendukung kebutuhan keluarga. Pandangan ini menganggap perempuan tidak perlu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi karena pencari nafkah utama dilakukan oleh laki-laki. Pandangan tradisional ini akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan gender dalam mengakses pendidikan.
Perempuan yang tidak bisa mengakses pendidikan karena faktor budaya dan ekonomi seringkali berakhir dinikahkan oleh keluarganya agar dapat membantu perekenomian keluarga. Seakan pernikahan adalah solusi untuk kemiskinan. Padahal pernikahan adalah hal yang kompleks yang seringkali menjadi sumber penderitaan bagi perempuan. Seperti kesenjangan gender yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Kesenjangan gender dapat menyebabkan perempuan merasa diremehkan serta tidak memiliki kontrol terhadap kehidupan diri sendiri. Kesenjangan gender juga menyebabkan timbulnya perasaan tidak adil dan rendah diri. Hal ini dapat menyebabkan perempuan menjadi pribadi yang penuh keraguan atas keputusannya serta hilangnya rasa percaya diri untuk melakukan berbagai hal. Kesenjangan gender yang dialami perempuan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental.
Dalam penelitian Uncovering the Hidden Impacts of Inequality on Mental Health: A Global Study (2018) yang dilakukan oleh Shoukai Yu, menemukan bahwa adanya hubungan antara kesenjangan gender terhadap tingginya tingkat depresi yang dialami oleh perempuan. Diskriminasi gender dan stereotip gender dapat membuat perempuan mengalami hambatan dalam mengakses sumber daya masyarakat.
Sedikitnya perwakilan perempuan di pemerintahan, lapangan pekerjaan yang belum ramah untuk pekerja perempuan, ketidaksetaraan dalam hal mengakses pendidikan dan kesehatan adalah persoalan yang masih terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, kesetaraan gender terus digaungkan. Perlunya ada kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam pemenuhan hak serta kewajiban dalam semua aspek kehidupan.
Kesetaraan gender dapat memberantas kemiskinan dan meningkatkan taraf kehidupan. Kemiskinan adalah salah satu yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan. Adanya kesenjangan gender dalam mengakses pendidikan sehingga perempuan tidak bisa berdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan perempuan menggantungkan hidupnya pada laki-laki dalam ikatan bernama pernikahan. Pandangan bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah utama dalam kenyataannya tidak semua laki-laki memiliki kapabilitas untuk mencari nafkah telah memberikan beban bagi laki-laki. Keadaan ini seringkali menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki.
Kesetaraan gender tidak hanya membawa manfaat untuk perempuan, namun juga laki-laki. Pemenuhan hak dan kewajiban yang sama antara perempuan dan laki-laki memiliki dampak yang banyak sekali dalam semua aspek kehidupan. Niscaya dapat membangun masyarakat yang lebih aman dan sehat secara fisik dan mental.
Sumber foto: Pexels.com/Edward Eyer
Social Media Kami