Perempuan Jawa dalam Istilah Kanca Winking
Secara alamiah, perempuan dan laki-laki dibedakan berdasarkan seks atau jenis kelaminnya. Perempuan memiliki vagina sementara laki-laki memiliki penis. Namun bukan hanya itu saja, perbedaan laki-laki dan perempuan selalu diikuti melalui konsep gender. Perbedaan tersebut diikuti berdasarkan konstruksi sosial masyarakat dimana peranan antara perempuan dan laki-laki dibedakan seperti misalnya, pekerjaan domestik seperti menyapu, mengepel dan lainnya merupakan pekerjaan perempuan sementara pekerjaan publik seperti bekerja diluar rumah merupakan tugas suami. Bukan hanya pembedaan dari pekerjaan, warna juga terkadang mengikuti apa itu gendernya seperti misalnya, warna pink selalu dikaitkan dengan perempuan dan warna biru selalu dikaitkan dengan laki-laki.
Pengkotak-kotakan ini kemudian menimbulkan ketimpangan gender dimana seringkali ruang gerak perempuan di kotak-kotakan sehingga menjadi sempit dan tentu ini merugikan perempuan. Situasi ini disebut sebagai Patriarki dimana budaya yang saat ini masih mengakar dalam kehidupan masyarakat, dianut dan dikontruksikan secara turun temurun dimana laki-laki selalu mendominasi atau pemegang kekuasaan penuh.
Pada masyarakat adat jawa, perempuan jawa yang sudah bersuami diistilahkan sebagai Kanca Winking dimana artinya teman belakang. selain menjadi pasangan, istri juga berperan sebagai pengelola rumah tangga dimana istri yang harus mengurus semua keperluan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, memasak, mencuci pakaian, mengurus anak dan suami dan lainnya. Konsep jawa ini sebetulnya selimut dari patriarki dimana perempuan selalu dinomor duakan.
Istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa. Konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut) juga menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri (Handayani dan Novianto, 2004). Bagi masyarakat jawa, perempuan itu harus menjadi lemah lembut, menurut, rela menderita dan harus penuh kasih. Perempuan jawa juga diwajibkan untuk mengurus rumah dengan baik. Ada 3 hal yang biasa kita dengar yaitu sumur, dapur dan kasur. Ketiga tempat ini harus dikuasai oleh istri jawa.
Ada prinsip jawa yang berprinsip hormat dimana perempuan jawa tidak boleh ikut dalam sektor publik. Prinsip ini berlaku untuk menghormati pasangannya. Perempuan jawa tidak boleh lebih tinggi dengan laki-laki atau perempuan jawa tidak boleh mendominasi perannya. Jika kemungkinan istri memiliki kesempatan untuk kontribusi dalam sektor publik ada batasan-batasan yang perlu dijaga seperti tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan posisi suami begitu tinggi, menurut atau manut perkataan suami dan memenuhi segala kebutuhan suami.
Namun adanya konsep istri sebagai sigaraning nyawa, bukan sekedar konco wingking juga memberikan gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter terhadap perempuan Jawa (Handayani & Novianto, 2004). Istilah konco wingking pun tidak selalu lebih rendah, tergantung bagaimana perempuan Jawa memaknainya. Sama seperti sutradara yang bekerja di belakang layar dan tidak pernah terlihat dalam filmnya tetapi dapat menentukan jalannya film. Walaupun kendati demikian, istilah ini hanya selimut untuk memperhalus budaya patriarki ini. Perempuan tetap hidup dalam hegemoni patriarki.
Social Media Kami