Perempuan dan Beban Sampah yang Timpang: Zero Waste, Zero Equality?

Di banyak rumah tangga Indonesia, urusan sampah bermula dari dapur. Perempuan menjadi pihak pertama yang memutuskan–mana yang bisa dibuang, dipilah, bahkan yang harus dibakar. Itu semua terjadi karena minimnya fasilitas pengelolaan sampah dari pemerintah. 

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan menjadi pihak yang mengurus limbah, sekaligus menjaga agar rumah tetap layak huni di tengah sistem lingkungan yang rapuh. Namun, negara lebih sering berlindung di balik narasi “perubahan dimulai dari rumah” untuk menyembunyikan kegagalannya membangun sistem yang adil.

Di sini, beban personal menggantikan tanggung jawab struktural. Saat fasilitas pemilahan tak tersedia, TPS penuh, atau TPA terbakar, masyarakat diminta “lebih sadar”. Seperti yang terjadi di TPA Sarimukti, Bandung Barat, 2023 silam, masyarakat tetap diminta “lebih sadar”.

Di Desa Sarimukti, warga–terutama ibu-ibu–terpaksa mengenakan masker kain seadanya saat memasak dan mencuci, demi menghindari dampak asap tebal. Meski masker “hanya menyaring beberapa persen partikel beracun”, warga masih mengalami sesak napas dan mata perih akibat paparan asap yang menyesakkan.

Perempuan–yang waktu dan tenaganya semakin terkikis demi menjaga kelayakan hidup keluarga–menjadi pihak pertama yang berjibaku menghadapi dampak, sementara sistem perlindungan nyatanya gagal hadir.

Zero Waste 2029: Target Nasional, Beban Lokal

Indonesia menargetkan 100% pengelolaan sampah pada 2029, sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2025–2029 dan strategi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Target ini muncul setelah target sebelumnya pada 2025 gagal tercapai. Saat ini, capaian pengelolaan sampah baru di angka 39 persen. Salah satu rencananya menutup ratusan TPA yang masih menggunakan sistem open dumping.

Beberapa daerah, seperti Kabupaten Tangerang, bahkan telah mengadopsinya secara lokal dengan target “Zero Waste 2029”. Salah satu bentuknya adalah program bank sampah berbasis RT dan lomba lingkungan bersih yang pelaksanaannya lebih banyak dibebankan kepada ibu rumah tangga dan kader PKK. Namun alih-alih diikuti oleh investasi sistemik dan redistribusi kuasa, target ini justru direduksi menjadi tanggung jawab moral rumah tangga.

Baca juga: Perempuan dalam Jerat Konsumerisme: Ulasan Kritis dari Film Dokumenter "Buy Now! The Shopping Conspiracy"

Dalam beberapa dokumen perencanaan daerah lainnya, seperti RPJMD Kota Semarang 2025–2029, peran perempuan dalam pengelolaan sampah secara eksplisit disebut dengan narasi “ibu rumah tangga akan menjadi pengelola bank sampah di tingkat RT”. Walaupun ini bentuk pengakuan atas upaya perempuan, namun narasi tersebut juga patut dipertanyakan. Karena, negara masih mengasumsikan pengelolaan sampah sebagai tanggung jawab salah satu pihak

Tapi siapa yang menyediakan fasilitas pendukungnya? Siapa yang memberi insentif pada mereka yang sejak awal sudah bekerja dalam senyap? 

Pemerintah memang melakukan sejumlah upaya, seperti penyusunan SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) dan bantuan infrastruktur TPS 3R, namun aksesnya belum merata. Banyak wilayah padat penduduk atau pemukiman informal yang tidak tersentuh infrastruktur ini. Tanpa dukungan fasilitas dan insentif memadai, kerja-kerja perempuan dalam pengelolaan sampah tetap berada di titik lelah, tak terlihat, dan undervalued.

Ketika Sampah Tidak Netral Gender

Di kawasan seperti Jatiwaringin, Kota Tangerang, atau dekat TPA Cipeucang, Tangerang Selatan, perempuan hidup berdampingan dengan udara yang sesak akibat pembakaran terbuka, limbah cair yang meresap ke sumber air rumah tangga, dan tumpukan sampah yang merayap hingga ke selokan depan rumah mereka. 

Beberapa warga bahkan mengalami gangguan pernapasan dan kulit, terutama anak-anak dan lansia. Meskipun tidak banyak tercatat dalam laporan resmi, temuan ini kerap muncul dalam diskusi komunitas lingkungan dan pengamatan lapangan oleh aktivis lokal. 

Melalui obrolan saya dengan beberapa aktivis lingkungan yang mendampingi warga sekitar TPA Sarimukti dan Cipeucang, keluhan seperti sesak napas, mata perih, dan ruam kulit sering disampaikan oleh ibu-ibu saat asap dan bau menyengat melanda permukiman.

Di tengah lingkungan kotor dan minim fasilitas, perempuan tetap dibebankan tanggung jawab menjaga kesehatan keluarga. Mereka tetap memasak makanan sehat, menjaga kebersihan anak, dan aktif dalam program “lingkungan sehat” meski tanpa dukungan memadai. Beban ini dijalankan dalam kondisi terbatas, seolah urusan lingkungan hanya bisa diselesaikan dari dapur dan halaman rumah.

Namun, bagi perempuan di Cipeucang dan Jatiwaringin yang saya dengar kisahnya dari para aktivis, keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Mereka mencatat jadwal truk sampah, membentuk kelompok kompos, dan saling mengingatkan kapan harus menghindari paparan bau menyengat. Sayangnya, pengetahuan ini jarang masuk dalam rancangan kebijakan, karena mereka lebih sering dianggap “penggerak lapangan” ketimbang pemilik suara.

Kritik yang Berakar, Bukan Mengambang

Bukan berarti kampanye zero waste salah. Yang perlu dikritik adalah pendekatannya. Kita tidak bisa berharap perubahan terjadi hanya dari gaya hidup, sementara struktur dibiarkan timpang. Zero waste akan selalu menjadi slogan, jika fasilitas pemilahan tidak merata, TPA masih open dumping, dan warga masih merasa mengelola sampah adalah urusan masing-masing.

Saya berpendapat, tanggung jawab ekologis tidak bisa hanya diukur dari kemampuan individu untuk memilah. Ia harus dilihat dari keberanian negara mengubah cara ia mendesain layanan publik. Karena selama ini, perempuan tidak hanya membersihkan rumahnya sendiri, melainkan juga mengelola dampak dari ketimpangan kebijakan yang dibuat di ruang-ruang formal tanpa mereka.

Sebagai contoh, Korea Selatan menunjukkan bahwa tanggung jawab ekologis bisa berhasil jika negara hadir sebagai aktor utama. Mereka menerapkan kebijakan zero waste melalui sistem yang komprehensif, seperti insentif pajak dan denda, pemisahan sampah berbasis teknologi, serta pelibatan warga dalam anggaran partisipatif.

Baca juga: Di Balik Megahnya PIK Ada Perempuan yang Terpinggirkan

Dalam pendekatan ini, negara tetap memegang kendali sebagai penyedia sistem dan fasilitator utama–bukan menyerahkan semua pada dapur dan RT. Ini adalah bentuk keberanian negara dalam mendesain ulang layanan publik secara adil dan terstruktur. Suatu hal yang masih minim diupayakan pemerintah kita.

Solusi Itu Mungkin, Kalau Kita Mau Berbagi Kuasa

Kita bisa mulai dari yang paling dasar. Libatkan perempuan dalam penyusunan kebijakan lingkungan di tingkat desa dan kota. Jangan hanya minta mereka “ikut gotong royong”, tapi berikan ruang untuk mereka menyampaikan strategi. Ukur keberhasilan program bukan dari lomba kelurahan bersih, tapi dari seberapa sehat lingkungan hidup mereka–airnya, udaranya, waktunya.

Jadikan anggaran lingkungan sebagai alat keadilan sosial. Dana publik harus disalurkan ke tempat-tempat yang paling terdampak: kawasan padat, pesisir, daerah TPA, dan permukiman informal. Karena di sana, perempuan adalah korban, pengelola krisis, sekaligus pengusung perubahan.

Dan yang paling penting: pindahkan perspektif dari domestik ke politis. Pengelolaan sampah bukan urusan rumah tangga, tapi bagian dari demokrasi ekologi. Kalau negara serius soal zero waste, maka ia harus siap berbagi tanggung jawab dan berbagi kuasa.

Karena perempuan tidak sedang memilah sampah. Mereka sedang menyelamatkan hidup–di ruang yang selama ini dibiarkan sunyi, tapi justru menjadi dasar keberlanjutan hidup suatu rumah tangga, bahkan negara.

0 comments

Leave a Comment