Ahmad Dhani dan Objektifikasi Perempuan di Parlemen: Mengapa Kita Harus Marah?
Ahmad Dhani mendapatkan kritik tajam atas usulan seksis dan rasis saat rapat Komisi X DPR yang membahas naturalisasi pemain Tim Nasional Sepak Bola Indonesia pada Rabu, 5 Maret 2025. Dalam menanggapi permasalahan ini, ia mengatakan agar pemain sepak bola asing yang mendekati usia pensiun dapat memperoleh naturalisasi melalui pernikahan dengan perempuan Indonesia.
“Pemain bola yang sudah di atas usia 40, bisa kita naturalisasi. Lalu, kita jodohkan dengan perempuan Indonesia,” Tutur Dhani.
Ia bahkan secara langsung menyampaikan gagasannya kepada Ketua PSSI, Erick Thohir, dengan menyebutnya sebagai ide yang “out of the box”. Menurutnya, keturunan dari pernikahan tersebut berpotensi menjadi pemain sepak bola berkualitas.
“Jadi, pemain bola di atas 40 tahun yang mau dinaturalisasi dan mungkin duda, kita carikan jodoh di Indonesia, Pak,” ia juga menyarankan untuk berpoligami. “Kalau laki-laki kan bisa cari. Apalagi kalau muslim, bisa empat istri ya, Pak. Mungkin pemain Arab, Aljazair, Maroko, banyak yang jago. Kalau sudah tua, kita naturalisasi, Pak.”
Kualitas Wakil Rakyat yang Misoginis, Seksis, dan Rasis
Sebagai pejabat publik, Dhani mencerminkan wakil rakyat yang sangat misoginis, seksis, rasis, dan bermental inlander (orang terjajah). Alih-alih menyuarakan dan memberikan dukungan terhadap isu perempuan, Dhani justru melihat perempuan hanya sebagai objek seksual laki-laki dan “mesin pencetak anak”.
Ditambah lagi, pernyataannya seputar poligami menganggap remeh hak perempuan atas tubuh dan kehidupannya sendiri–seakan-akan negara dapat mengatur kehidupan mereka. Hal ini mencerminkan pemikirannya–yang sangat misoginis–bahwa perempuan dianggap sebagai komoditas yang bisa dikendalikan dan dibagi untuk kepentingan tertentu.
Dhani tak seharusnya menyuarakan poligami yang merupakan bentuk kekerasan pada perempuan. Hal ini karena poligami sering kali melibatkan ketimpangan kuasa, kontrol atas tubuh perempuan, dan pemaksaan dalam berbagai bentuk–yang tentunya mengabaikan hak atas tubuh perempuan.
Lebih memalukan lagi, pernyataan Dhani ditertawai oleh wakil rakyat lainnya, seperti Erick Thohir, Taufik Hidayat, Once Mekel, dan Denny Cagur. Hal ini membuktikan bahwa cara pandang atau pemikiran seperti Dhani dianggap normal dan wajar. Padahal, pernyataan seksis, misoginis, dan rasis ini tidak bisa dibenarkan dan dianggap sebagai suatu lelucon. Bahkan, menurut kami, perlu adanya teguran keras.
Jika seorang anggota DPR dapat mengeluarkan pernyataan kontroversial seperti ini tanpa menghadapi konsekuensi, itu menunjukkan bahwa representasi wakil rakyat dan pejabat publik sama sekali tidak memiliki kesadaran isu gender. Padahal, kebijakan asal-asalan yang dihasilkan DPR memiliki dampak langsung terhadap kehidupan perempuan.
Respons Komnas Perempuan: Ini Melanggar Pilar Kebangsaan!
Melihat hal ini, Komnas Perempuan tak tinggal diam dengan menuliskan poin-poin teguran dan pernyataan sikap. Di antaranya menegaskan bahwa seluruh pimpinan dan anggota DPR RI harus mengawal empat pilar kebangsaan, yang tak hanya diimplementasikan dalam mekanisme pembuatan undang-undang, tapi juga pada kehidupan sehari-hari.
Empat pilar yang dimaksud adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sudah menjadi kewajiban para wakil rakyat ini juga untuk mengamalkan nilai integral yang sarat akan penghormatan pada kemanusiaan yang adil dan beradab, nondiskriminasi, dan penghargaan pada kebhinekaan. Laku penghargaan tersebut juga tak luput dari penghargaan kepada perempuan sebagai manusia yang setara, bukan sekadar objek seksual dan reproduksi.
Komnas Perempuan menegaskan pernyataan Dhani sangat bertentangan dengan ratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 dan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin kelima, sebagai komitmen Indonesia untuk mengupayakan kesetaraan dan keadilan gender.
Pernyataan Dhani juga berpotensi melanggar Hak Asasi Perempuan dan mencederai citra, kehormatan, dan kewibawaan DPR RI, khususnya Komisi X. Maka, Komnas Perempuan mendorong Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk memeriksa kasus tersebut.
Sebagai tindakan preventif, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kepada Pimpinan DPR RI, yaitu perlu diadakan penguatan kapasitas anggota DPR RI dalam hal konstitusi, HAM, serta kesetaraan dan keadilan. Bagi partai politik–terutama partai yang mengusung Ahmad Dhani–penting sekali mengawasi kinerja anggota DPR RI yang diusungnya.
Pejabat Seksis, Please Don’t Exist!
Bisa dikatakan, hidup sebagai perempuan dan minoritas gender–dengan menyandang status sebagai WNI–begitu nahas. Setiap hari, kita semua dipertontonkan parade kebodohan para pejabat publik yang berwatak seksis, rasis, fasis, dan culas sehingga menghasilkan produk kebijakan publik yang sama sekali tidak responsif gender.
Jika kita kilas balik, sudah terdapat banyak sekali kontroversi yang terjadi pada pemerintahan ini. Salah satunya adalah seluruh pimpinan komisi DPR VIII RI yang membidangi isu agama, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan anak diisi oleh laki-laki–yang rekam jejaknya diketahui tidak memiliki perspektif gender. Padahal, sebagai laki-laki, mereka nantinya dapat berpotensi bias dalam merumuskan kebijakan.
Bias ini pun terlihat pada kasus ujaran Dhani yang seksis dan ditertawai oleh anggota dewan lainnya. Mereka yang berpartisipasi melalui penertawaan ucapan Dhani, pada dasarnya sedang melanggengkan budaya perkosaan atau rape culture. Kekerasan Berbasis Gender (KBG) bersarang dari hal yang paling dianggap remeh, yang acap kali disembunyikan di balik candaan.
Sebagai bentuk asal bunyi dan bodohnya pejabat publik, sudah sepantasnya mereka mendapat teguran keras dari masyarakat sipil. Tak ada ruang bagi pejabat seksis, fasis, dan rasis. Mengingat fungsi check and balance dari Trias Politika telah digembosi secara sistematis, itu artinya kekuatan masyarakat sipil wajib dikerahkan dan dimasifkan. Sebagai warga negara, kita harus bersuara dan mengkritik keras para wakil rakyat yang memberikan pernyataan kontroversial. Karena, kehidupan kita sangat bergantung pada setiap kebijakan yang mereka hasilkan. Jadi, masyarakat sipil tidak boleh lengah apalagi lelah.
Betul bahwa mereka kelewat bebal, tapi bayangkan jika kebebalan itu dibiarkan dan kita lelah mengkritik, mereka pasti semakin arogan dan merasa tidak ada yang salah dari tindak tanduknya.
Barang kali kebodohan pejabat bukan terulang, namun memang begitulah kualitas mereka. Lantas apakah kondisi yang demikian perlu dimaklumi dan didiamkan? Kami kira tidak. Kita semua berhak marah atas objektifikasi perempuan yang dilakukan Dhani dan wakil rakyat lainnya. Sebab, marah adalah sebenar-benarnya hak yang perlu diorganisir, agar kemarahan kita sama-sama tersalurkan dan tepat sasaran.
Tags:

Social Media Kami