Konsep Feminine Energy dan Maculine Energy, Hanya Menuntut Nilai Gender Toxic
Tentu kita tidak asing dengan kata Feminine Energy dan Masculine Energy, Beberapa orang gencar membagikan tips untuk membangun Feminine Energy agar banyak perempuan mendapatkan pasangan dengan kriteria laki-laki yang memiliki Masculine energy dominan dimana laki-laki tersebut dapat menjadi provider bagi perempuan.
Selama ini, konstruksi sosial gender membuat streotipe pada perempuan dan laki-laki. Banyak aturan-aturan dimana perempuan harus lemah lembut,penuh kasih sayang, suportif, sensitif, anggun, dan lainnya, sedangkan laki-laki harus keras, tegas, kuat dan mendominasi. Tentunya definisi ini membuat penjara bagi perempuan dan laki-laki.
Sejak tahun 2023, banyak konten-konten tentang tips bagaimana mengaktifkan energy feminine dan mulai menghapuskan energy masculine ini. Mereka memberikan jargon seperti “ Perempuan Harus Lemah Lembut dan Anggun” “Perempuan Tidak Boleh Lebih Dominan Dari Laki-laki”. Banyak dari pembuat konten merasa bahwa itu memberdayakan perempuan agar para prempuan mendapatkan laki-laki yang mendominasi yang bisa menyediakan kebutuhan semua perempuannya. Alih-alih memberdayakan perempuan justru ini adalah pelanggengan patriarki.
Tuntutan Feminine Energy dan Masculine Energy Menjadi Toxic
Dengan adanya feminine energy dan masculine energy membuat perempuan dan laki-laki harus memilih energy tersebut berdasarkan jenis kelaminnya. Seolah-olah perempuan harus menjadi feminim sedangkan laki-laki harus maskulin. Jika perempuan memiliki energy masculine lebih banyak dianggap aneh atau tidak lazim. Misalnya jika laki-laki lebih banyak mengeluarkan energy feminine dianggap kemayu dan perempuan yang lebih banyak mengeluarkan energy masculine dianggap perempuan kasar.
Energy feminine dan Energy Maculine justru memenjarakan perempuan dan laki-laki dari nilai gender yang toksik. Dimana laki-laki diharuskan kuat dan jika ada laki-laki yang menangis dianggap cengeng padahal menangis adalah ekspresi kesedihan dan ini justru menimbulkan toksik maskulin.
Sama halnya, perempuan yang memiliki jiwa yang berani akan dibilang perempuan agresif sehingga ini menimbulkan toksik feminim. Pada akhirnya, konsep energy feminine dan energy masculine ini justru hanya pelanggengan patriarki dari konsep gender tradisional dan ini justru menimbulkan nilai toksik gender.
Kita perlu melepas belenggu dari stigma perempuan harus feminim dan laki-laki harus maskulin yang justru akhirnya membuat toksik kepada diri sendiri.
Padahal perempuan bebas mengekspresikan diri tanpa perlu dikotak-kotakan dengan konsep energy feminine tersebut sama halnya dengan laki-laki. Konten dan Kampanye tentang feminine masculine energy ini justru berbanding terbalik dengan konsep kesetaraan. Ini hanya produk patriarkis dan justru dikapitalisasi.
Social Media Kami