Sunat Perempuan : Tradisi Yang Mendiskriminasi Perempuan
Sunat perempuan atau Female Genital Mutilation ( FGM ) menjadi tradisi yang dillakukan sejak lama bahkan masih banyak yang melakukannya tanpa adanya pemahaman resiko yang terjadi pada anak perempuan.
Menurut Komnas Perempuan praktik sunat perempuan mendefinisikan sebagai seluruh bentuk pemotongan alat kelamin perempuan, bailk sebagian atau keseluruhan dengan adanya alasan budaya atau lainnya.
Sedangkan menurut WHO mengklasifikasikan sunat perempuan menjadi empat jenis. yaitu:
- Klitoridektomi yaitu pemotongan sebagian atau seluruh bagian dari klitoris. Pada kasus tertentu hanya pada kulit tipis di sekitar klitoris.
- Eksisi yaitu pemotongan sebagian atau seluruh bagian klitoris dan labia minora dengan atau tanpa pemotongan labia mayora.
- Inibulasi yaitu penyempitan lubang vagina dengan membuat semacam sekat. Sekat dibuat dengan memotong atau memodifikasi bentuk labia minora atau labia mayora. Terkadang dengan cara dijahit.
- Segala bentuk praktik berbahaya yang dilakukan pada genitalia perempuan untuk tujuan nonmedis, misalnya menusuk, menoreh, dan mengusapkan sesuatu ke area genitalia.
Mitos Sunat Perempuan
Banyak mitos yang mengatakan bahwa jika perempuan yang tidak disunat akan memiliki libido yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang disunat. Dan ada juga mitos yang mengatakan bahwa perempuan yang disunat akan memberikan kenikmatan seksual oleh pasangannya.
Padahal faktanya menurut Komnas Perempuan bahwa luka pada genital perempuan justru berpotensi merusak saraf klitoris, bahkan bisa berujung pada kematian. Dikutip dari tirto.id terdapat 2 kasus anak perempuan yang meninggal setelah di sunat karena terjadi pendarahan terus-menerus di Banten dan Riau.
Sunat Perempuan Merupakan Diskriminasi Perempuan
UNICEF lembaga yang menentang praktik sunat perempuan atau FGM karena praktik seperti ini termasuk pelanggaran terhadap hak anak dan perempuan. Dan bahkan menurut PBB dan WHO, sunat perempuan merupakan bentuk ketimpangan gender yang mengakar, sekaligus bentuk ekstrem diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak perempuan.
Sunat perempuan atau FGM memang tidak ditemukan kebaikan dalam bidang kesehatan tapi justru banyak menimbulkan masalah. Meskipun begitu, sunat perempuan masih terus berjalan dilakukan karena banyak masyarakat berpikir bahwa itu adalah tradisi yang mengakar dari sistem patriarki dimana perempuan dijadikan objek seksual sehingga dibuat mitos bahwa perempuan yang sunat akan bisa memberikan kepuasan seksual kepada suaminya kelak.
Pada tahun 2006 , pemerintah telah membuat larangan praktik sunat perempuan namun diprotes oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan alasan bahwa sunat perempuan ridak boleh dilarang karena itu merupakan hal yang dianjurkan dalam agama islam. Sehingga pada 2010 aturan tersebut dicabut.
Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehetan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan. Namun MUI tetap melakukan protes keras karena dianggap melarang tradisi yang berdekatan dengan Islam.
Dan akhirnya Kementerian Kesehatan mengeluarkan Permenkes Nomor 6 tahun 2014 yang mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan, dimana dalam peraturan tersebut berisi memberi keleluasaan bagi tokoh agama untuk menentukan boleh atau tidaknya praktik sunat perempuan.
Ini merupakan tanda tanya seharusnya negara lebih memikirkan kesehatan perempuan dibandingkan tradisi yang justru mendiskriminasi perempuan yang bisa menyebabkan kematian.
Social Media Kami