"Oh, jadi korban? Yaudah, chill aja sih kayak stoic."
"Kamu tuh terlalu serius nanggapin itu semua. Padahal, nggak semua hal harus dipikirin."
Saat menjadi korban kekerasan, tak jarang korban menerima kalimat-kalimat yang terdengar menenangkan, tapi di baliknya, sering tersembunyi upaya meredam luka yang ingin bersuara. Walau tak terdengar kasar, menggunakan konsep-konsep filsafat seperti stoikisme, justru menggiring korban kekerasan menjadi jauh dari kenyataan. Bahwa ketika korban yang baru saja meminta pertolongan, diminta tenang agar tak mengganggu orang sekitar.
Kalimat-kalimat seperti itu terdengar ringan, seolah ingin menenangkan, tetapi juga bisa menyisakan ruang sunyi yang justru menekan.
Saya, pernah mengalaminya.
Seseorang pernah mengatakan bahwa saya terlalu larut dalam peran sebagai korban, lalu mengaitkannya dengan stoikisme. Ia bahkan mengirimkan video tentang bagaimana menjadi "anti-cemas" melalui pendekatan filsafat tersebut. Padahal, dalam video itu sendiri, disebutkan prinsip “speak less, act more” atau “bicara lebih sedikit, bertindak lebih banyak.” Jika dipikir lebih dalam, prinsip tersebut justru sangat relevan bagi korban kekerasan yang sedang berjuang mencari keadilan, bukan sekadar diminta diam dan menerima keadaan. Namun, orang yang mengirimkan video itu sepertinya tidak memahami konteks tersebut.
Saat itu, saya pun merasa kaget, bingung, dan sedikit tercekat, apalagi karena pernyataan itu datang dari seseorang yang sedang mendalami ilmu hukum pidana, bidang yang seharusnya memberikan ruang dan dukungan bagi suara korban.
Sejatinya, jika belajar stoikisme secara penuh; justru ia tidak akan menyuruh korban memadamkan gejolak, tapi menyalakan kesadaran. Sebaliknya, stoikisme mengajarkan kita bagaimana hadir sepenuhnya dalam kesadaran. Bukan menyuruh diam, tapi membantu saya memilih waktu dan cara untuk bersuara, sambil tetap berdiri tegak dalam keberanian.
Stoikisme Bukan Berarti Pasrah
Stoikisme sering dipahami sebagai seni bersikap tenang dalam menghadapi cobaan hidup. Namun, pemahaman yang keliru kerap menjadikannya dalih untuk bungkam, terutama saat korban kekerasan diminta untuk "ikhlas" atau "jangan terlalu baper". Padahal, stoikisme sejati jauh dari ajakan untuk menekan perasaan dan membiarkan ketidakadilan terus berlanjut tanpa perlawanan.
Dalam Meditations, Marcus Aurelius menulis, “You have power over your mind, not outside events. Realize this, and you will find strength (terj. Kamu memiliki kendali atas pikiranmu, bukan atas kejadian di luar dirimu. Sadari hal ini, dan kamu akan menemukan kekuatan).” Namun, kekuatan yang dimaksud bukanlah kepasrahan atau ketidakpedulian terhadap keadaan, melainkan keberanian untuk menghadapi kenyataan dengan pikiran jernih dan sikap adil.
Baca juga: Menyoal Grup Inses di Facebook: Surga bagi Predator, Neraka bagi Korban
Dalam filsafat stoik, justru keberanian untuk menghadapi kenyataan dengan jernih dan adil adalah inti dari kebajikan. Seperti dijelaskan artikel berjudul "Amor Fati and Memento Mori in Marcus Aurelius’ Meditations" (2022), stoikisme mendorong pengembangan kebajikan aktif, seperti keberanian, keadilan, dan penguasaan diri, yang menjadi kekuatan moral untuk melawan ketidakadilan, bukan sekadar menerimanya begitu saja.
Jadi, menjadi stoik bukan berarti memaafkan kekerasan atau menoleransi ketimpangan. Sebaliknya, stoikisme mengajarkan kita untuk tetap teguh menjaga ketenangan batin sekaligus memiliki keberanian bertindak demi perubahan yang benar.
Risiko Menggunakan Stoikisme secara Salah Kaprah
Mengajak seseorang yang sedang mengalami kekerasan untuk "tenang saja" atau "jangan terlalu dipikirin" justru berisiko besar mereduksi persoalan struktural menjadi sekadar masalah mentalitas individu. Pendekatan seperti ini sering kali berpotensi mengabaikan kebutuhan korban akan dukungan emosional, keadilan, dan perlindungan yang sesungguhnya.
Penelitian Elle dan Jennifer (2022) berjudul "Stoicism and Verbal Aggression in Serial Arguments: The Roles of Perceived Power, Perceived Resolvability, and Frequency of Arguments", menunjukkan bahwa individu dengan kecenderungan stoik yang tinggi cenderung menekan ekspresi emosi mereka. Jika hal ini terjadi dalam situasi kekerasan yang terjadi berulang kali, penekanan emosi ini justru dapat berujung pada peningkatan agresi verbal dan tekanan psikologis yang lebih besar. Hal ini karena semakin sering konflik terjadi, semakin kuat pula hubungan antara stoikisme dan agresi verbal, karena emosi yang terpendam akhirnya meledak dalam bentuk perilaku agresif.
Artinya, penerapan stoikisme yang tidak tepat juga menghambat proses pemulihan emosional korban yang sangat penting. Alih-alih menjadi alat pemberdayaan, stoikisme yang disalahartikan justru dapat memperparah penderitaan korban dengan mendorong mereka untuk memendam emosi, menghindari konfrontasi konstruktif, dan menekan rasa sakit yang seharusnya diakui dan diatasi.
Menolak Diam: Suara dan Perlawanan adalah Bentuk Keteguhan
Bukan hanya kekerasan verbal yang sering dipatahkan dengan argumen "jangan baper", karena kekerasan seksual pun kerap dibungkam dengan narasi "kenapa baru ngomong sekarang?" Sikap seperti ini menempatkan ketenangan sebagai alasan untuk membungkam suara korban, padahal stoikisme tidak pernah berarti memaafkan kejahatan atau mengabaikannya.
Ketenangan yang dimaksud stoikisme adalah ketenangan yang menguatkan, bukan ketidakpedulian. Misalnya, saat menemani korban yang pikirannya kalut dan trauma, kita perlu tetap tenang agar mampu mendengarkan dan memahami cerita mereka dengan penuh empati. Ketenangan ini bukan untuk menekan atau meredam suara korban, tapi sebagai kekuatan agar mereka merasa didukung dan percaya diri untuk bersuara dan melawan ketidakadilan.
Faktanya, proses pemulihan bagi korban kekerasan seksual sering kali dimulai justru saat mereka mulai berani mengungkapkan kebenaran dan menyadari ketidakadilan. Dalam perjalanan itu, korban juga membutuhkan stoikisme, yang hadir bukan sebagai alat untuk membungkam suara mereka, melainkan sebagai kekuatan untuk memenangkan diri sendiri. Karena, penting juga bagi korban untuk mengelola kegelisahan dan kekacauan batin sebelum akhirnya memilih untuk bersuara dan melawan.
Baca juga: Menolak Lupa Kekerasan dan Femisida di Bulan Mei 1998
Refleksi: Kita Punya Kendali, Tapi Juga Hak
Filsafat, termasuk stoikisme, memang bisa menjadi sumber kekuatan batin yang luar biasa. Karena dialah akar dari seluruh pengetahuan. Namun, konsep yang sudah ada tak bisa dimaknai secara mentah-mentah, apalagi sebagai alat untuk menyalahkan korban atau meredam suara mereka. Karena, meminta korban "berpikir positif" tanpa memberi ruang bagi rasa marah, takut, atau kecewa sesungguhnya adalah bentuk lain dari kekerasan simbolik yang halus tapi sangat menyakitkan.
Sering kali kritik seperti "as always from the victim's point of view" muncul dengan nada sinis. Seolah perspektif korban selalu berlebihan atau bias. Padahal, siapa lagi yang paling tahu luka dan dampaknya selain korban itu sendiri? Perspektif korban adalah inti dari viktimologi, ilmu yang mengakui eksistensi mereka secara penuh, bukan sekadar sebagai subjek penderita, tapi sebagai aktor yang berhak merasa, bersuara, dan menuntut keadilan.
Maka, jika ingin menerapkan stoikisme dalam menghadapi korban kekerasan, kita perlu untuk mengenali dan mengelola emosi, bukan untuk memadamkan atau mengekangnya. Karena ketenangan bagi korban akan tercapai jika keadilan atas mereka ditegakan. Sebab, keadilan bukan hanya soal hukum semata, tapi juga pengakuan bahwa luka itu nyata, dan bahwa setiap korban berhak untuk merasa, berbicara, dan memperjuangkan haknya.
0 comments