Perempuan dan Ancaman Pernikahan Dini: Menelisik Dampak Patriarki dalam Film ‘Yuni’

film-yuni-1_169

 

Pada tangal 9 Desember 2021, film ‘Yuni’ tayang di layar lebar Indonesia. Walaupun film ini sudah hampir 3 tahun rilis, namun masih menarik untuk dikaji. Film yang bernafaskan semangat perjuangan feminis ini digarap oleh Kamila Andini. Kehadiran film ‘Yuni’ meninggalkan kesan miris dan sedih akan fakta bahwa negara ini masih melestarikan budaya patriarki yang berdampak pada isu pernikahan dini. Persoalan patriarki yang seolah tidak pernah selesai ini setiap detiknya telah mematikan mimpi-mimpi perempuan hebat dan cerdas. Tidak ada yang pernah mau peduli dengan ambisi seorang perempuan, karena ia akan besar dengan label ‘egois’ karena dianggap menyepelekan peran istri dan ibu.

Di adegan awal film, kamu akan menjumpai seorang Yuni mengenakan seragam putih abu-abu serta aksesorisnya yang identik dengan warna ungu. Sekilas lucu dan menggemaskan, tetapi hal ini menyiratkan makna yang dalam. Warna ungu memiliki sejarah tersendiri dalam gerakan feminisme gelombang pertama yaitu diadopsi oleh Women's Social and Political Union (WSPU), sebuah organisasi hak pilih di Inggris yang didirikan pada tahun 1903. WSPU memilih warna ungu, hijau, dan putih karena makna simbolis dan dampak visualnya. Ungu mewakili martabat dan kesetiaan, hijau mewakili harapan dan kehidupan baru, dan putih mewakili kemurnian.

Yuni adalah anak semata wayang dari kedua orang tua yang berprofesi sebagai pekerja migran di Arab. Ia tinggal bersama neneknya di perumahan padat penduduk. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan androgini, tidak terlalu feminin dan tidak terlalu maskulin. Yuni merupakan anak yang berprestasi di sekolah serta aktif di kegiatan intra dan ekstra sekolah. Berlatarbelakang di daerah Serang, Banten, film ini memotret kehidupan Yuni di lingkungan yang religius. Di ujung kelulusannya, Yuni dihadapkan dengan pilihan lanjut kuliah atau memilih menikah. Konflik cerita dimulai saat sekolah Yuni kedatangan sosialisasi tentang kehamilan di luar nikah dari pemerintah setempat.

Kuliah atau Menikah: Kebingungan Yuni Menjelang Kelulusan

Yuni bersembunyi di balik tembok saat ada seseorang yang melamarnya
Sumber foto: https://www.whiteboardjournal.com/ideas/film/film-yuni-karya-kamila-andini-mendapat-review-positif-di-festival-internasional/

Sejak penyuluhan tersebut, Yuni benar-benar memikirkan apakah ia akan menerima tawaran beasiswa kuliah atau menikah saja seperti teman-temannya yang lain. Sayangnya, salah satu persyaratan beasiswa tersebut adalah belum menikah. Dalam benak Yuni, ia masih ingin mencoba banyak hal dan takut kalau sudah menikah ia tidak bisa sebebas dirinya sekarang. Beberapa guru juga mendorong Yuni untuk segera memberikan keputusannya terkait tawaran beasiswa. Yuni berjalan seolah tanpa arah, ibunya justru membebaskan Yuni untuk memilih mana yang terbaik baginya.

Salah seorang tetangga Yuni, Iman, tiba-tiba mendatangi kediaman Yuni bersama dengan keluarganya. Mereka datang dengan maksud ingin melamar Yuni. Semua tetangga Yuni tahu bahwa sebentar lagi Yuni akan lulus dari SMA. Nenek Yuni belum bisa memberi kepastian, kabar ini sampai di telinga Yuni tepat saat ia pulang sekolah. Yuni semakin bingung, sudah ada lamaran untuk menikah, Yuni belum mau. Tidak hanya Iman, seorang laki-laki tersohor yang sudah memiliki istri juga datang menemui Nenek Yuni untuk melamar Yuni sebagai istri kedua. Yuni menolak dengan keras.

Film ini menampilkan pesan bahwa norma-norma patriarkal yang kental sangat mempengaruhi setiap sendi kehidupan Yuni. Tekanan untuk menikah di usia yang masih muda sudah datang dari berbagai sisi, terutama dari tetangga sekitarnya. Masyarakat setempat memegang prinsip bahwa perempuan pada akhirnya akan mengurus rumah tangga, sehingga perempuan tidak perlu melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Meskipun hukum di Indonesia sudah mengatur usia minimum untuk boleh menikah, namun pada praktiknya hal tersebut tidak sejalan dengan beban serta masalah yang dihadapi oleh setiap perempuan. Pada relasi pernikahan yang timpang, perempuan seringkali didomestifikasi dalam praktik-praktik yang eksploitatif. Mereka lebih banyak berkorban untuk menunda melanjutkan karir dan pendidikannya karena dituntut segera memiliki anak setelah menikah.

Carut Marut Rasa Ingin Tahu Yuni terhadap Pernikahan dan Seksualitas

Yuni dan Suci
Sumber foto: https://www.cultura.id/yuni-review

Tidak seperti temannya yang lain, Yuni bisa dibilang cukup beruntung karena dapat melanjutkan pendidikan sampai SMA. Beberapa temannya ada yang harus putus sekolah karena terlanjur hamil di luar ikatan pernikahan. Yuni diperlihatkan sisi kehidupan pernikahan yang berbeda dari cerita orang-orang terdekatnya. Perempuan terjerembab dalam rutinitas kehidupan yang itu-itu saja, membersihkan rumah dan mengurus anak. Yuni mendengar sendiri keluh kesah teman dekatnya yang sudah menikah. Berhubungan seksual dengan suami hanya dilakukan sebagai syarat menunaikan kewajiban dan perempuan sama sekali tidak merasakan kenikmatan atau orgasme. Benak Yuni penasaran, apa itu orgasme?

Film ini menawarkan cara pandang baru tentang kompleksitas yang dihadapi remaja perempuan seperti Yuni yaitu sulit mendapat akses edukasi seks. Berangkat dari cerita temannya, Yuni sempat mencari tahu sendiri apa itu orgasme sampai ia mencoba untuk melakukan masturbasi. Tidak hanya itu, dalam adegan yang lain Yuni memberanikan diri mengeksplorasi dunia seksualitasnya bersama dengan Yoga, seorang teman laki-laki yang dekat dengan Yuni.

Semesta juga mempertemukan Yuni dengan Suci, seorang penyanyi dangdut dan pemilik salon yang mencuri perhatian Yuni saat sedang nyawer di sekitar rumahnya. Dibalik perawakan Suci yang ceria, ia adalah korban kekerasan dalam rumah tangga oleh mantan suaminya. Suci bertahan hidup sendirian dengan pekerjaannya saat ini. Lagi-lagi Yuni dilihat sebagai perempuan yang beruntung, karena dianggap masih bisa meneruskan sekolah sampai jenjang SMA. Yuni paham, tidak semua perempuan menjalani pernikahan yang baik-baik saja. Masih diselimuti kebimbangan, ini semua karena tekanan untuk menikah bagi Yuni semakin kuat.

Yuni Tetap Terjebak dalam Pernikahan Dini

Yuni merenung di dalam kamar
Sumber foto: https://cinecrib.com/2021/12/11/review-yuni-film-indonesia-paling-powerful-dan-paling-penting-tahun-ini/

Konstruksi patriarki yang begitu kuat tetap menjebak Yuni dalam pernikahan dini bersama Pak Damar. Ya, ia adalah guru Bahasa Indonesia di sekolah Yuni dan ia juga yang menyarankan Yuni untuk mengikuti lomba baca puisi. Sejumlah adegan film menunjukkan Pak Damar adalah guru yang dekat dan selalu mendukung prestasi Yuni. Situasi kemudian berubah 180 derajat dan sulit dipahami oleh Yuni. Di penghujung alur cerita, Yuni tidak sengaja bertemu dengan Pak Damar di pasar baju. Yuni memergoki Pak Damar sedang mengenakan kerudung dan berkaca di ruang fit-in. Tidak hanya menyoal isu feminisme, film ini juga menyiratkan pesan keberagaman ekspresi gender yang lain. Sayangnya, hal tersebut adalah awal mula pernikahan mereka direncanakan.

Pak Damar tidak ingin kecenderungan seksualnya diketahui oleh orang tuanya dan masyarakat setempat, jelas. Ia mengancam Yuni agar tidak memberi tahu soal itu kepada siapapun. Relasi kuasa yang sangat timpang di antara keduanya menempatkan Yuni pada posisi yang lemah. Yuni harus pasrah menerima lamaran dan pernikahan dengan Pak Damar. Meskipun Pak Damar menjanjikan akan membebaskan Yuni menempuh pendidikan, namun tetap saja pernikahan dilaksanakan dengan dasar keterpaksaan.

Reformasi Hukum dan Pendidikan Gender

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa usia minimal bagi perempuan boleh menikah adalah 19 tahun, sebelumnya 16 tahun. Ini merupakan salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk menurunkan angka perceraian dan mendukung lahirnya generasi bangsa yang sehat dan berkualitas. Namun, pemerintah lupa bahwa seharusnya reformasi hukum dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial dan budaya. Melalui film ‘Yuni’ kita belajar, pernikahan dini justru lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal dan terikat dengan persoalan gender lainnya. Budaya patriarki memposisikan perempuan sebagai subjek yang lemah untuk menyampaikan pendapat dan jarang dipertimbangkan keadaannya dalam pernikahan.

Pemerintah perlu serius menanggapi isu pernikahan dini. Lebih dari sekedar afirmasi kenaikan syarat usia minimum, tetapi juga mendorong program-program pemberdayaan perempuan. Pemerintah punya andil besar dalam memperkenalkan pendidikan kesetaraan gender pada setiap tingkatan pendidikan. Integrasi pemahaman kesetaraan gender penting ada di dalam kurikulum sekolah. Pendidikan gender diprioritaskan untuk meminimalisir praktik budaya patriarki dan melatih siswa bersikap setara antar sesama.

0 comments

Leave a Comment