Penangkapan Perempuan: LFK & FL sebagai Bentuk Represi di Ruang Publik
Kasus pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, yang tewas dilindas mobil rantis Brimob Polda Metro Jaya, memantik gelombang demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025. Peristiwa itu, melahirkan ekspresi solidaritas dari banyak kalangan, tak terkecuali perempuan. Baik di media sosial maupun di lapangan, semua orang menyampaikan kritik tajam.
Namun, bagi sebagian perempuan yang menyuarakan kritik di media sosial, kemarahan itu justru berbalik menjadi bumerang. Mereka dikriminalisasi, dituduh menghasut, bahkan di-doxing hingga data-data pribadinya tersebar luas. Hal ini, tentunya, menandakan wajah kelam demokrasi kita dan represi berlapis yang dialami oleh perempuan.
Baca juga: Bendera One Piece dan Simbol Perlawanan Perempuan di Bulan Kemerdekaan
Penangkapan yang Berawal dari Unggahan Media Sosial
LFK adalah seorang pegawai kontrak di sebuah lembaga internasional. Ia diduga mengunggah konten hasutan di Instagram terkait aksi demo 25–28 Agustus 2025. Melalui akunnya, LFK menuliskan Story yang mengekspresikan kemarahan atas kekerasan polisi. Dalam tulisannya, terdapat kalimat yang dianggap ajakan untuk membakar gedung Mabes Polri.
Sebagai sipil, kita membaca ungkapan LFK sebagai ekspresi kemarahan dan kekecewaan atas sikap aparat yang merepresi dalam demonstrasi. Tapi, bagi mereka, unggahan itu ditafsirkan sebagai ‘hasutan’ dan ‘provokasi’ secara sepihak. Tiga surat dibawa sekaligus, tanpa pemanggilan atau pemeriksaan awal, LFK pun langsung ditetapkan sebagai tersangka serta ditangkap di kediamannya, Cipayung.
Barang bukti yang disita hanyalah ponsel dan tangkapan layar konten media sosial. Kuasa hukum dan keluarga mempertanyakan prosedur tersebut, seperti mengapa penetapan tersangka begitu tergesa-gesa, mengapa tidak ada kesempatan klarifikasi, dan siapa pelapor yang melaporkan pun tidak diberitahukan.
Berbeda dengan LFK, kasus FL berawal dari sebuah video yang diunggah di akun TikTok-nya. Dalam video itu, ia diduga mengajak anak-anak dan remaja ikut serta dalam aksi demo. Video tersebut sempat viral dan ditonton sekitar 10 juta kali sebelum akhirnya dihapus. Ia kemudian dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, pasal-pasal terkait perlindungan anak, serta UU ITE.
Padahal, ajakan FL sesungguhnya bisa dibaca sebagai ekspresi politik di media sosial. Alih-alih melakukan klarifikasi, negara justru langsung menggunakan pasal berlapis untuk menjeratnya. Proses yang keras ini memperlihatkan betapa mudahnya hukum dijadikan alat represi, apalagi ketika pelakunya adalah seorang perempuan yang vokal.
Baca juga: Penangkapan Aktivis sebagai Pembungkaman Suara Kritis: Ketika Negara Memproduksi Kekerasan Maskulin
Kriminalisasi Digital pada Perempuan yang Bersuara
LFK menjadi contoh nyata kriminalisasi digital ini. Ia tidak hanya dituduh menghasut, tetapi juga dihadapkan pada serangan digital yang berusaha menghapus ruang aman bagi dirinya sebagai individu. Bandingkan dengan kasus laki-laki, seperti Delpedro dan kawan-kawan. Mereka memang ditangkap dan dijerat pasal, tapi jarang sekali mengalami doxing masif atau penghancuran identitas personal di ruang digital. Perbedaan perlakuan ini menandakan bahwa identitas sebagai perempuan berperan besar dalam menentukan bentuk dan intensitas represi.
Dalam unggahan teman LFK, Dalilah, melalui akun X-nya @dalilahadani, ia menampilkan akun Instagram @miketumorang yang melaporkan LFK ke tempat kerjanya. Banyak pula komentar-komentar provokatif, sampai ada yang menyebarkan data pribadi LFK, seperti alamat, nomor telepon, hingga nama orangtuanya. LFK pun turut mengalami ancaman dan teror melalui Whatsapp.
Fenomena ini sejalan dengan temuan Skubic dan Gaber (2024) bahwa tujuan utama kekerasan digital bukan sekadar melukai psikologis, tetapi juga mencegah perempuan berpartisipasi politik dan memaksa mereka mundur ke ruang privat. Bahkan, upaya ini dapat dibaca sebagai strategi agar perempuan kembali diam. Padahal, media sosial seharusnya menjadi ruang yang lebih setara bagi warga negara untuk menyuarakan kegelisahannya, terlebih pada sistem negara yang memang menindas.
Hal ini diperkuat oleh Krook dalam Violence against Women in Politics (2020), yang menyebut kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, baik fisik, psikologis, seksual, maupun digital, sebagai upaya sistematis untuk membatasi partisipasi politik mereka. Dengan kata lain, suara perempuan dianggap begitu mengganggu, hingga sistem politik dan sosial berupaya membungkamnya lewat jalur hukum sekaligus kekerasan bergender.
Baca juga: Prabowo Penuh Omon-Omon: Menagih Janji Presiden Terhadap Pengesahan RUU PPRT
Pemisahan Pengasuhan Ibu dengan Sang Anak
Selain itu, penangkapan ini juga menunjukkan bagaimana aparat melakukan kekerasan tanpa mempertimbangkan latar belakang para korban. FL adalah seorang ibu yang sedang menyusui. Namun, ia diinterogasi tengah malam, dan kini harus berpisah dengan sang anak. Dari keterangan Sri Palupi, Tim Advokasi untuk Demokrasi, FL mengalami stres berat hingga tak bisa menyusui lagi.
Ironisnya, selain UU ITE dan KUHP, FL juga ditangkap dan dijerat karena telah melanggar UU Perlindungan Anak. Padahal, perempuan yang masih mengasuh anak mengalami tantangan yang berlapis saat ia berada di penjara. Temuan Kirubarajan, dkk. (2022) semakin memperjelas bahwa trauma psikologis bagi ibu yang dipisahkan dengan sang bayi adalah hal yang sangat menghancurkan.
Apa yang dilakukan aparat tidak mempertimbangkan bagaimana keberlangsungan relasi FL dengan sang anak. Tidak hanya cara penangkapannya yang merepresi, tapi juga tindak lanjut setelah penangkapan pun masih sarat akan kekerasan. Padahal, dampak berkelanjutannya besar, Dellaire (2007) menenekankan perpisahan ini membawa risiko besar bagi proses integrasi keduanya.
Mempertanyakan “Korban” dan Posisi Hukum
Baik LFK maupun FL mengalami pola serupa: mereka ditetapkan sebagai tersangka tanpa sempat diberi ruang untuk menjelaskan konteks pernyataan atau tindakannya. LFK tidak pernah dipanggil lebih dulu untuk klarifikasi story Instagram yang dituding sebagai hasutan. Begitu juga dengan FL, yang siaran langsungnya diartikan sepihak sebagai upaya ‘menghasut’.
Hingga kini, kuasa hukum, kolega, bahkan kita semua masih dipertanyakan siapa sebenarnya pihak yang melaporkan LFK dan FL. Ketidakjelasan ini memperlihatkan betapa proses hukum di negara ini dijalankan tanpa transparansi, seolah-olah yang terpenting hanyalah menciptakan tersangka, bukan mencari kebenaran. Keduanya langsung diposisikan sebagai pelaku, bukan warga negara yang berhak atas proses hukum yang adil.
Situasi ini menunjukkan bahwa hukum tidak bekerja dalam kerangka perlindungan, tetapi dalam kerangka represi. Pasal-pasal karet seperti KUHP dan UU ITE dipakai bukan untuk mencari kebenaran substantif, melainkan untuk mengunci narasi bahwa suara kritis adalah ancaman. Oleh karena itu, penangkapan yang dilakukan cenderung tebang-pilih. Padahal, penyebaran identitas tanpa consent yang dilakukan oleh @miketumorang dan akun di dalam komentar unggahannya, seharusnya juga dijerat oleh undang-undang yang sama.
Kriminalisasi LFK dan FL menunjukkan bahwa perempuan di ruang publik harus membayar harga lebih mahal dibanding rekan laki-lakinya. Risiko yang mereka hadapi tidak hanya hukum, tetapi juga sosial dan digital. Pengalaman keduanya memantik kita, masih maukah kita membiarkan negara dan masyarakat terus melanggengkan pola ini? Sebab, hal yang menimpa LFK dan FL juga bisa terjadi pada kita semua.

Social Media Kami