Belakangan ini childfree sedang ramai di perbincangkan. Stigma negatif childfree makin berkembang di masyarakat Indonesia yang notabane nya Indonesia merupakan negara pronatalis, masih menganggap bahwa perempuan harus memiliki anak setelah menikah. Perdebatan mana yang lebih baik menjadi seorang ibu atau childfree menuai pro kontra. Semestinya hal ini tidak perlu diperdebatkan, karena pada prinsipnya menjadi childfree ataupun menjadi seorang ibu adalah keputusan atau Pilihan Hidup Seorang Perempuan. Tekanan masyarakat yang menganggap bahwa pernikahan ideal adalah yang memiliki anak, pernikahan yang tidak memiliki anak tidak dianggap sebagai pernikahan yang sempurna atau ideal.
Konstruksi masyarakat Patriarki yang menganggap perempuan sebagai mesin reproduksi sehingga Ketika perempuan memilih untuk tidak memiliki anak dianggap perempuan yang tidak sempurna atau perempuan yang menyalahgunakan reproduksinya. Makna pernikahan pun menjadi tergeser, menikah bukan hanya sekedar cinta atau kasih sayang melainkan sebagai meneruskan keturunan. Esensi pernikahan pun dipertanyakan. Tubuh perempuan selalu menjadi isu sosial dan tidak memiliki kekuasaan. Peran domestik sangat melekat pada masyarakat sehingga reproduksi perempuan pun harus ikut menjadi keharusan kodrati yang harus dilakukan.
Keputusan menjadi childfree memiliki makna bahwa perempuan bisa menjadi manusia yang otonom, wewenang dan tanggung jawab atas dasar tubuhnya. Keputusan menjadi seorang Ibu juga dimaknai sebagai mestinya jika perempuan sadar akan keputusannya. Menjadi Ibu atau tidak, memiliki Anak atau tidak, perempuan tetap menjadi seorang perempuan tanpa kekurangan apapun.
Zahira
Setuju si dengan statement Menjadi Ibu atau tidak, memiliki Anak atau tidak, perempuan tetap menjadi seorang perempuan tanpa kekurangan apapun. Keinginan menjadi Childfree itu ada pada pilihan diri kita sendiri sebagai perempuan yang utuh, bukan berarti menyalahi kodrat