“Ada yang besar tapi bukan harapan”
“Lu mah SALOME Satu Lobang Rame-Rame”
“ lo mah Kayak Relaxa. Relaxa, alias rela diperkosa”
“Lambat banget lu jalan, kayak cewek”.
Kalimat-kalimat tersebut mungkin sering didengar di lingkungan sekolah, tempat kerja, bahkan berseliweran di media sosial. atau mungkin kita pun juga pernah mengatakan hal tersebut sehingga kita berpikir bahwa itu hal yang biasa saja dan normal tidak ada yang aneh padahal hal itu merupakan kalimat-kalimat yang merujuk seksisme yang merendahkan perempuan.
Perilaku seksime diyakini dimana merendahkan atau merasa lebih unggul dari jenis kelamin yang lain. Pada masyarakat patriarki, perilaku seksisme muncul dalam berbagai bentuk seperti streotip diskriminasi, prasangka, objektifikasi hingga lelucon atau candaan.
Humor seksis mengarah pada menghina bentuk atau ukuran tubuh, menjadikan sebagai objek seks kepada laki-laki, perempuan atau pun non biner. namun seringkali humor seksis merujuk pada perempuan dan kelompok rentan.
Humor seksis tidak hanya bersifat seksual terkadang mengarah kepada merendahkan salah satu jenis kelamin, seperti “Lo baper banget sih kayak cewek” atau “Laki-laki sih gak bisa angkat galon”.
Tanpa kita sadari, kita mewajarkan hal-hal seperti itu, padahal humor seksis memang harus dihentikan itu bukan humor candaan melainkan sebuah kekerasan simbolik.
Humor Seksis Bukanlah Candaan Melainkan Kekerasan Simbolik
Banyak studi sosial yang mengatakan bahwa humor seksis bukan hanya sekedar candaan atau lelucon semata melainkan itu merupakan kekerasan simbolik dimana dalam kata-kata tersebut ada makna merendahkan.
Humor memang diperlukan untuk mencairkan suasana namun jika humor itu bersifat seksis atau objektifikasi terhadap perempuan ataupun kelompok rentan seharusnya tidak dinormalisasi atau diwajarkan sebagai sebuah lelucon.
seringkali humor seksis dianggap wajar dan dinormalisasi, padahal jika dibiarkan terus menerus seperti sedang membangun dan melangggengkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Dimana masyarakat akan terbiasa dengan adanya lelucon seksisme tersebut. Misalnya dalam kasus kekerasaan seksual seperti pemerkosaan seringkali dibuat humor sehingga tanpa disadari membiarkan kasus tersebut menjamur dan hanya dianggap candaan.
Yuk Berhenti Mewajarkan Humor Seksis
Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah berhenti menertawakan humor seksis. Semakin banyak tawaan semakin pelaku merasa itu adalah hal yang lucu padahal tidak sama sekali. Selain berhenti menertawakan, kamu juga bisa menegur secara langsung bahwa itu bukanlah lelucon melainkan kekerasan simbolik.
0 comments