Pernikahan dini yang melibatkan selebriti TikTok yaitu Zizan dan Syifa menjadi perbincangan hangat di media sosial. Pasangan muda ini menarik perhatian publik dengan pernikahan mereka yang terkesan romantis dan penuh kebahagiaan. Pernikahan Zizan dan Syifa menuai kritik keras dari warganet karena melanggar UU Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasalnya, Zizan merupakan kelahiran tahun 2005 kini berusia 19 tahun sedangkan Syifa berumur 17 tahun. Sementara Undang-Undang Perkawinan Batas Usia minimal pernikahan baik perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun, tujuan dari undang-undnag ini adalah untuk melindungi anak-anak dari dampak buruk pernikahan dini, seperti keterbatasan pendidikan, kematangan emosional yang belum tercapai, dan masalah kesehatan reproduksi.
Banyak yang mengkritik pernikahan mereka, muncul kekhawatiran bahwa kisah pernikahan dini mereka dapat mempromosikan atau mengglorifikasi pernikahan di usia dini tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang terlebih mereka adalah seorang yang memiliki jumlah followers yang banyak.
Glorifikasi Pernikahan Dini di Media Sosial
Isu terbesar yang muncul dari pernikahan Gus Zizan dan Kamila Asy Syifa adalah glorifikasi pernikahan dini di media sosial. Glorifikasi ini terjadi ketika pernikahan dini ditampilkan sebagai sesuatu yang glamor, romantis, dan tanpa masalah. Dalam banyak video yang diunggah oleh Zizan dan Syifa, mereka menunjukkan momen-momen manis dalam pernikahan mereka, seperti berlibur bersama, menghabiskan waktu berdua, dan merayakan kehidupan baru mereka sebagai suami istri. Hal ini menciptakan narasi bahwa pernikahan dini adalah sesuatu yang mudah dan menyenangkan, tanpa menyentuh aspek-aspek yang lebih kompleks seperti kesiapan emosional, finansial, dan tanggung jawab yang datang dengan pernikahan.
Padahal, kenyataan pernikahan dini sering kali jauh dari gambaran romantis yang ditampilkan di media sosial. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini bisa berujung pada masalah sosial dan ekonomi. Anak-anak yang menikah muda cenderung terputus dari pendidikan, menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak, dan lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, mereka juga sering kali belum matang secara emosional untuk menghadapi dinamika kehidupan pernikahan.
Secara psikologis, pernikahan dini sering kali membawa dampak yang tidak ringan, terutama bagi pasangan yang belum sepenuhnya matang secara emosional. Kematangan emosional merupakan salah satu faktor penting dalam membangun hubungan pernikahan yang sehat. Ketika seseorang menikah di usia muda, mereka mungkin belum memiliki keterampilan komunikasi yang matang atau kemampuan untuk mengatasi konflik dengan baik, yang dapat menyebabkan masalah dalam hubungan.
Selain itu, pernikahan dini dapat menimbulkan tekanan psikologis yang signifikan, terutama bagi perempuan. Perempuan sering kali diharapkan untuk segera mengambil peran sebagai istri dan ibu, yang membawa tanggung jawab besar yang mungkin belum siap mereka tanggung. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan mental, dengan meningkatnya risiko depresi, kecemasan, dan stres akibat peran-peran dewasa yang diemban terlalu dini.
Media sosial seperti TikTok memiliki peran besar dalam menyebarkan narasi romantis tentang pernikahan dini. Algoritma TikTok yang menonjolkan konten viral memungkinkan video-video yang menampilkan pernikahan muda dan romantisme rumah tangga baru tersebar luas. Namun, konten-konten ini sering kali tidak disertai dengan informasi tentang tantangan dan risiko yang sebenarnya dihadapi oleh pasangan yang menikah muda.
Bagi para selebTikTok seperti Zizan dan Syifa, pernikahan mereka mungkin terlihat seperti kisah cinta yang sempurna. Namun, ketika mereka mempublikasikan kisah tersebut tanpa memberikan gambaran yang lebih seimbang, mereka bisa secara tidak langsung mendorong pengikut mereka untuk meniru langkah yang sama tanpa pertimbangan matang.
Bukan hanya sekali ini saja terjadi, pernikahan dini yang diromatisasi oleh selebgram juga pernah terjadi. Pernikahan Sabrina dan Adhiguna pada tahun 2020 dimana saat itu Sabrina masih berusia 16 tahun. Fenomena pernikahan dini yang terus menerus diromantisasi seakan-akan kita melanggengkan pernikahan dini. Maka dari itu, perlunya masayarakat mengkritisi bahwa aturan undang-undang perkawinan terkait batas usia ini jangan hanya dibuat semata-mata untuk formalitas saja, melainkan perlu praktik yang benar-benar diimplementasikan.
Jika Tidak Ingin Zina, Maka Jangan Zina, Menikah Dini Bukan Solusi
Mencegah zina dengan menikah bukanlah solusi, justru memberikan masalah baru. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa hubungan seksual di luar nikah merupakan dosa besar, sehingga pernikahan dianggap sebagai cara legal dan sah untuk menyalurkan hasrat seksual. Namun, pandangan ini bisa menjadi bermasalah ketika pernikahan dini dipromosikan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk menghindari zina, tanpa memperhitungkan kesiapan fisik, emosional, finansial, dan tanggung jawab jangka panjang yang datang dengan institusi pernikahan.
Menghindari zina bukan berarti harus segera menikah. Ada banyak cara lain yang lebih sehat dan bertanggung jawab untuk menghindari perbuatan zina tanpa harus menikah dini. Seperti lebih fokus pada diri sendiri membangun masa depan yang lebih baik dengan berpendidikan tinggi, mengikuti kegiatan yang bermanfaat, mengeksplor hobi dan lainnya. Selain itu, pendidikan seksual juga penting tentang seksualitas dan hubungan dapat membantu memahami batasan-batasan moral tanpa merasa harus terburu-buru menikah hanya untuk menghindari dosa. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang tubuh dan hubungan, remaja dapat belajar mengelola dorongan seksual dan menunda pernikahan hingga mereka benar-benar siap.
Risiko Kesehatan Pernikahan Dini
Salah satu risiko terbesar dari pernikahan dini adalah dampak kesehatan, khususnya bagi perempuan. Menikah dan hamil di usia yang terlalu muda meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan persalinan. Tubuh perempuan yang belum sepenuhnya matang secara biologis bisa menghadapi tantangan serius saat menjalani kehamilan, seperti anemia, perdarahan, dan preeklampsia. Risiko kematian ibu dan bayi juga lebih tinggi pada perempuan yang menikah dan melahirkan di usia muda.
Selain risiko fisik, pernikahan dini juga dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan mental. Seperti yang disebutkan sebelumnya, tekanan psikologis yang datang dari tanggung jawab yang besar di usia muda dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan. Tanpa dukungan yang memadai, hal ini bisa berujung pada masalah kesehatan mental yang serius, seperti depresi pascapersalinan.
Maka dari itu, penting untuk diingat bahwa pernikahan dini memiliki banyak risiko, mulai dari dampak psikologis, sosial, hingga kesehatan. Lebih jauh lagi, pelanggaran hukum dalam kasus ini menjadi sorotan utama, karena pernikahan di bawah usia yang ditetapkan oleh UU Nomor 16 Tahun 2019 adalah bentuk pengabaian terhadap upaya pemerintah untuk melindungi anak-anak dari bahaya pernikahan dini. Edukasi kritis dan peningkatan literasi media menjadi hal yang sangat penting dalam menghadapi fenomena seperti ini, agar generasi muda tidak terjebak dalam glorifikasi pernikahan dini yang bisa merusak masa depan.
0 comments