“Laki-laki kok nangis?”
“Gak tawuran gak jantan”
“Masa laki-laki masak itumah tugas perempuan”
“Pekerjaan berat, ya udah kamu aja laki-laki yang ngerjain ya!”
Narasi-narasi tersebut merupakan dari toxic masculinity dimana laki-laki dianggap harus kuat, tangguh dan agresif. Jika laki-laki menunjukan hal yang berkebalikan akan dipertanyakan kejantannya.
Sandra L. Bem (1974) menjelaskan bahwa sifat feminim dan maskulin dimiliki oleh setiap manusia. Sifat maskulin identik dengan cara berpikir rasional, berani, bertanggungjawab dan melindungi. Sedangkan sifat feminin contohnya kelemahlembutan, keibuan, pandai merawat, penyayang dan sabar. Kedua sifat tersebut merupakan hal yang lumrah dan manusiawi pada setiap individu.
Namun sifat maskulin justru dilebih-lebihkan dan justru dijadikan norma gender, dimana laki-laki dikonstruksikan harus kuat, tangguh dan agresif sedangkan perempuan dikonstruksikan harus lembut dan penyayang sehingga yang terjadi saat ini bukan hanya sekedar sifat tetapi menjadi keharusan dan kemudian justru berubah menjadi Toxic Masculinity atau Maskulinitas Beracun.
Toxic Masculinity justru berdampak pada kesehatan dan mental pada laki-laki. seringkali laki-laki merasakan tekanan sosial yang mewajibkan dirinya harus terbentuk seperti itu. Padahal hal ini berisiko pada kesehatan, kesehatan mental serta orang disekitarnya.
Disisi lain, dalam kasus kekerasan seksual, laki-laki yang dianggap kuat lebih mungkin dianggap sebagai pelaku daripada korban. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah dan hanya perempuan yang mungkin menjadi korban kekerasan seksual. Laki-laki dianggap bisa melawan tindakan kekerasan seksual karena laki-laki kuat. Jadi tidak mungkin jika laki-laki menjadi korban kekerasan seksual.
Laki-laki perlu belajar cara mengekspresikan perasaan atau emosinya.
Laki-laki berhak menangis atau bersedih karena pada dasarnya laki-laki atau perempuan sama-sama manusia yang pasti itu merupakan hal yang lumrah dan manusiawi.
0 comments