Minggu lalu 10/09/2024 PerempuanThreads hadir dalam acara Pendidikan Publik 117 Penghapusan Kekerasan Seksual dan Keadilan Gender yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan di Universitas Atmajaya. Dalam acara tersebut, Jurnal Perempuan menghadirkan narasumber L Nurtjahyo Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia melalui via zoom, Tracy Pasaribu dari Kemitraan, Asmin Fransiska Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Muhammad Zamzam Fauzanafi dari Laboratorium Antropologi Universitas Gadjah Mada (LAURA UGM) dan Retno Daru Dewi Selaku Redaksi Jurnal Perempuan. Sesi diskusi terbagi menjadi tiga fokus yaitu, kekerasan seksual digital, kekerasan seksual di masyarakat adat dan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu dalam sambutannya menekankan bahwa Jurnal Perempuan edisi 117 berfokus pada peningkatan kasus kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan seksual, yang menjadi perhatian utama Komnas Perempuan. Dalam data Komnas Perempuan kekerasan berbasis gender meningkat terus menerus. Adanya kebijakan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus (Permen PPKS) tentunya diterima dengan baik, namun masih adanya kendala dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, khususnya terkait penanganan yang belum optimal.
Dalam sesi diskusi bersama Lidwina Nurtjahyo, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ia mengatakan bahwa interaksi di dunia digital tidak seperti interaksi fisik yang terbatas pada ruang dan waktu. Interaksi di ruang digital tidak menaruh batasan-batasan sehingga terjadinya penerobosan ruang privat seperti penyebaran konten intim tanpa persetujuan atau Non-Consensual Intimate Image (NCII).
L Nurtjahyo juga menjelaskan bahwa kasus penyebaran konten ini tidak hanya terbatas pada korban yang memiliki hubungan. Pelaku dapat menyebarkan konten intim dari ruang privat korban, meskipun mereka tidak saling mengenal. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual, terutama jika pelaku berniat memanfaatkan konten tersebut untuk tujuan seksual. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan seksual memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual, terutama di kalangan remaja dan anak muda. Perlunya pembelajaran tentang konsep consent ( persetujuan ) agar memahami batasan dalam hubungan.
Kekerasan Seksual dalam Masyarakat Adat
Membangun ruang aman perempuan adat dari kekerasan seksual di masyarakat adat yang ingin dilakukan oleh Kemitraan. Tracy Pasaribu, Program Officer Kemitraan melakukan penelitian di Sumba Timur dan Kepulauan Mentawai mengungkapkan kasus kekerasan seksual di masyarakat adat. Tracy menjelaskan berbagai tantangan yang dihadapi perempuan adat dalam memperoleh keadilan, terutama terkait dengan hierarki sosial dan norma adat. Ia juga mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan adat bukan hanya kekerasan secara psikis melainkan fisik.
Relasi kuasa merupakan faktor utama dari kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat adat. Kekerasan seksual yang paling sering terjadi adalah pemerkosaan pada perempuan adat. Pelaku kekerasan seksual biasanya memiliki rumah, sawah, ladang atau properti lainnya yang dapat membuatnya berkuasa. Tracy juga menjelaskan banyak stigma yang diterima oleh korban kekerasan seksual di masyarakat adat sehingga banyak korban yang enggan untuk melapor.
Perlunya ruang aman untuk korban kekerasan seksual, Muhammad Zamzam Fauzanafi dari Laboratorium Antropologi Universitas Gadjah Mada (LAURA UGM) menjelaskan bahwa konsep "ruang aman" dalam konteks kekerasan seksual di masyarakat adat tidak hanya merujuk pada tempat fisik, tetapi juga melibatkan relasi dan praktik sosial di dalamnya. Menurut Zamzam ruang aman harus bebas dari rasa takut dan memberikan kenyamanan bagi korban kekerasan seksual sehingga korban dapat berbicara terbuka mengenai pengalaman korban.
Dalam penelitian yang dilakukan LAURA UGM bersama Kemitraan, Muhammad Zamzam mengungkap bahwa masyarakat adat memiliki karakteristik yang berbeda mengenai kekerasan seksual. Salah satu tantangan dalam menciptakan ruang aman di masyarakat adat adalah adanya hierarki sosial yang kuat dan norma adat yang seringkali tidak memberi ruang bagi korban untuk berbicara. Ia juga menyoroti pentingnya menghilangkan rasa takut dan menciptakan ruang di mana korban dapat merasa aman untuk berbagi pengalaman.
Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus
Kekerasan seksual juga sering terjadi di lingkungan kampus, pada pemaparan Retno Daru Dewi selaku Tim Redaksi Jurnal Perempuan, ia menceritakan bagaimana dirinya menjadi penyintas korban kekerasan seksual saat sedang bekerja. Retno Daru bekerja menjadi dosen di Universitas Indonesia dan ia mengalami kekerasan seksual oleh rekan kerjanya sesama dosen. Ia mengatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh dari kekerasan seksual adalah relasi kuasa dan budaya patriarki.
Retno Daru bercerita bahwa dirinya bukan dosen tetap dan perlakuan yang diterima oleh rekan dosennya yang sudah menjadi dosen tetap merasa memiliki kuasa atas rekan dosen yang bukan tetap dan ini yang mendasari kekerasan seksual. Selain itu, masih adanya pemikiran bahwa perempuan adalah objek seksual yang merupakan warisan patriarki yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual.
Retno Daru memberikan kritik terhadap pelaksanaan kebijakan Permen PPKS di lingkungan kampus. Meskipun aturan tersebut sudah ada, ia menjelaskan bahwa implementasinya masih jauh dari harapan. Ia mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi, seperti adanya resistensi dari sebagian pihak di lingkungan akademik, kurangnya dukungan finansial untuk mendukung Satgas PPKS, minimnya sosialisasi, dan rendahnya respons institusi terhadap laporan kasus kekerasan seksual.
Ia juga menekankan bahwa meskipun kebijakan seperti Permen PPKS dan UU TPKS sudah diterapkan, implementasinya memerlukan dukungan yang lebih kuat, terutama dalam aspek kemitraan, edukasi, dan membingkai ulang isu kekerasan seksual di kampus. Menurutnya, diperlukan upaya kolektif antara mahasiswa, dosen, dan pembuat kebijakan untuk memastikan kampus menjadi ruang yang aman dari kekerasan seksual.
Selain itu, kekerasan seksual paling sering terjadi pada anak muda di dalam hubungan berpacaran. Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Asmin Fransiska menjelaskan bagaimana dinamika kekuasaan dalam hubungan romantis sering kali membuat korban tidak menyadari bahwa mereka telah mengalami kekerasan seksual. Dalam hubungan pacaran, kekerasan seksual sering kali tidak terlihat jelas karena adanya anggapan keliru bahwa hubungan romantis secara otomatis menyiratkan persetujuan untuk semua tindakan seksual, padahal hal itu tidak benar. Tidak adanya payung hukum yang jelas untuk hubungan berpacaran membuat seringkan korban rentan mendapatkan kekerasan seksual tanpa adanya hukuman yang dapat dilaporkan.
Asmin menegaskan pentingnya edukasi tentang konsep persetujuan dan pembelajaran untuk pendidikan seks kepada anak sejak dini. ia juga menegaskan perlunya membongkar budaya diam yang masih kuat. Budaya diam ini menjadi salah satu hambatan utama dalam penanganan kekerasan seksual di kampus, karena membuat korban enggan melapor akibat ketakutan terhadap stigma sosial, sanksi kampus, anggapan bahwa hubungan pacaran adalah urusan pribadi, atau karena merasa pelaku memiliki kekuasaan lebih besar. Maka dari itu, Asmin mengajak untuk mendobrak budaya diam ini, dengan mewajarkan budaya diam ini korban jadi enggan untuk melapor.
Acara diskusi tersebut memberikan penyadaran bahwa penghapusan kekerasan seksual bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan merupakan tugas bersama yang harus melibatkan berbagai elemen masyarakat, seperti pemerintah, institusi pendidikan, organisasi masyarakat sipil, keluarga serta diri kita sendiri. Perlunya pendidikan seksual sejak dini, mengajarkan pada anak perempuan bagian-bagian yang hanya boleh di pegang oleh diri sendiri dan ajarkan pada anak laki-laki untuk tidak memegang bukan tubuhnya diri sendiri. Pelajari pemahaman tentang konsep consent atau persetujuan.
0 comments